Friday, January 29, 2010

Mengaji Kitab-kitabTafsir Qur'an Secara On Line

Alkhamdulillah setelah lama tidak aktif dalam dunia ngeblog, tentunya karena berbagai kesibukan yang saya hadapi (halah....kaya orang penting aje,)tp gak papalah berusaha menyibukkan diri (Nah begitu kan lebih diterima kedengerannya, he...) saya dapat kembali mengobrak abrik blog sederhana ini. Dalam kesempatan yang kali ini saya akan mengajak temen-temen dan para da'i atau calon da'i sekalian yang mempunyai hobby mutola'ah tafsir Qur'an untuk bersama-sama memperdalam dan mengasah kemampuan tafsirnya.
Dengan adanya akses internet yang semakin merajalela dan semakin banyak digemari orang, memperdalam ilmu pengetahuan dan bakat analisis keilmuannya secara otodidak menjadi sangat mudah. Tentu dengan tidak menafikan peran sorang guru, karena orang yang mempelajari suatu ilmu tanpa digurukan katanya gurunya adalah syeitan. halah jadi kemana ini pembahasannya, kok ngelantur? he......peace!
Intinya temen-temen sekalian dapat mempelajari Koleksi kitab-kitab tafsir al-Quran al-Karim secara on line. Dalam situs ini terdapat lebih dari 71 judul kitab tafsir, yang dikarang oleh para mufassir dari abad pertama sampai dengan abad ke-15 hijriah.
seperti :
1. Adhwa' al-Bayan fi Tafsir al-Quran Al Syanqithi
2. Aisar al-Tafasir Al Jazairi
3. Aisar al-Tafasir As'ad Humad
4. al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Quran al-Majid Ibn Ajibah
5. al-Bahr al-Muhith Abu Hayyan
6. al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma'tsur Al Suyuthi
7. al-Durr al-Mashun Al Dur Al Masoun
8. al-Jami' li Ahkam al-Quran Al Qurthubi
9. al-Kasyf wa al-Bayan Al Tsa'labi
10. al-Kasyaf al-Zamakhsari
11. al-Lubab fi 'Ulum al-Kitab Ibn Adil
12. al-Mizan fi Tafsir al-Quran Al Thabathabai
13. al-Muntakhab fi Tafsir al-Quran al-Karim Lajnah Quran wa sunnah
14. al-Nahr al-Maad Al Andalusi
15. al-Nukt wa al-Uyun Al Mawardi
Silahkan anda mengunjungi situsnya di www.alTafsir.com

  نفع الله لي ولكم ولجميع المؤمنين آمين
Baca Selengkapnya »»  

Download Fikih Sunnah Sayyid Sabiq

 Book : Fiqh Sunnah
Author: Syeikh Sayyid Sabiq
Dalam rangka untuk dapat memahami ajaran agama dengan baik dan benar, perlu kiranya umat Islam merujuk kembali pada Al-Qur'an, Sunnah Rasulullah dan ijma' para ulama'. Berkaitan dengan hal tersebut, Syekh Sayyid Sabiq menulis sebuah buku yang sudah tidak asing lagi bagi kita, yang senantiasa dijadikan sebagai rujukan berkaitan dengan masalah hukum dan ibadah, yang mana semua permasalahan yang beliau kemukakan disertai dengan landasan hukum yang jelas. Buku ini mengupas permasalah fikih secara lengkap dari A-Z.Buku ini terdiri dari tiga juz. silahkan download versi pdf-nya Juz 1
di sini , Juz 2 di sini , Juz 3 di sini . Atau kalau mau versi word-nya di sini
Terima kasih atas kunjungannya
Baca Selengkapnya »»  

Wednesday, January 27, 2010

Kode Warna at Ma'shum Blog






































































































































































































Kode warna yang terpilih :

Baca Selengkapnya »»  

Monday, January 25, 2010

al-Umuru bi Maqasidiha


النية شرط لسائر العمل بها الصلاح والفساد للعمل
niat itu adalah syarat bagi semua amalan dalam ibadah dengan niat akan diketahui baik & buruknya amalan.

 الامور بمقاصدها

  1. Pendahuluan
Qawaidul fiqhiyah  (kaidah-kaidah fiqih) adalah sesuatu yang sangat penting dan menjadi kebutuhan bagi kita semua. Akan tetapi tidak sedikit orang yang kurang memahami tentang hal ini, untuk itu perlu kiranya kita untuk mempelajari dan mengkaji ulang ilmu ini. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqih kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqih, karena kaidah fiqih itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqih. Selain itu kita juga akan menjadi  lebih arif dalam menerapkan fiqih pada waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Dengan mempelajari kaidah fiqih, diharapkan pada akhirnya kita juga bisa menjadi lebih moderat dalam menyikapi masalah-masalah politik, ekonomi, sosial, budaya sehingga kita bisa mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat dengan lebih baik.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang kaidah fiqih yang pertama, yaitu  الامور بمقاصدها  (al-Umuru bi Maqasidiha). Kaidah ini membahas tentang kedudukan niat yang sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perintah dan menjauhi laranganNya. Ataukah dia tidak niat karena Allah, tetapi agar disanjung orang lain.

  1. Definisi
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad Warson menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara).  Dalam tinjauan terminologi, kaidah memiliki beberapa arti. Menurut Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqih Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah, ”Kaum yang bersifat universal (kulli) yang diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”.
Berbeda dengan mayoritas Ulama Ushul yang mendefinisikan kaidah dengan,”Hukum   yang   biasa   berlaku    yang   bersesuaian   dengan  sebagian   besar bagiannya”.
Fiqih secara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sebagaimana yang banyak dipahami, yaitu  Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama” (Q.S. At-Taubat : 122). Dan juga Sabda Nabi SAW, yang artinya ”Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman dalam agama”.
            Sedangkan menurut istilah, Fiqih adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci).
Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul Fiqihiyah adalah :
”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.


  1. Hakekat dan Urgensi Niat
Dalam beberapa referensi, niat adalah syarat amalan itu dinilai  sebagai ibadah
النية شرط لسائر العمل بها الصلاح والفساد للعمل
Niat itu adalah syarat bagi semua amalan dalam ibadah dengan niat akan diketahui baik & buruknya amalan.
وقد عبر بعض العلماء عن هذه القاعدة بعنوان آخر فقالوا: لا ثواب إلا بنية،
Ada sebagian ulama' mengemukakan qaidah ini dengan lafad & siyaq ( susunan kata ) yang berbeda : yaitu : la sowaba illa binniyat ( tidak sah suatu amalan kecuali dengan niat ) Atau redaksi yang lain mengatakan ( jumhur ulama') : al umuru bimaqosidiha  Artinya :  Segala sesuatu amalan tergantung niat & tujuannya .
ذكر المؤلف هنا أن النية شرط لتصحيح العمل، والمراد بالنية القصد- يقال: نوى كذا بمعنى قصده، ويراد بالنية في الاصطلاح العزم على الفعل، فمن عزم على فعل من الأفعال قيل بأنه قد نواه، وبعض العلماء يعرف النية بأنها قصد التقرب لله - عز وجل - وهذا لا يصح؛ لأن النية على نوعين: نية صحيحة بقصد التقرب لله   عز وجل - ونية التقرب لغيره، وهذه أيضا من أنواع النيات، ولكل حكمه.
Niat merupakan syarat sah tidaknya suatu amalan, adapun yang di maksud niat adalah : a' qosdu ( tujuan & keinginan) jika di katakan : nawa kadha : artinya : maksud & tujuannya. Adapun makna niat secara istilah :" al azmu 'alal fi'il ( berkeinginan kuat untuk mengerjakan suatu amalan ) maka barang siapa yang memiliki keinginan kuat untuk berbuat suatu amalan maka sudah di katakan itu dia telah berniat, dan sebagian ulama' menjelaskan arti niat maknanya : "  berkeinginan & bertujuan mendekatkan diri kepada Allah , dan ini kurang tepat , karena disana ada 2 kemunkinan : niat yang benar untuk mendekatkan diri kepada Allah dan ada pula niat untuk mendekatkan diri kepada selain Allah, dan ini juga termasuk niat , dan semuanya ada hukum dan perinciannya.
  1. Dalil Niat Merupakan Syarat Amalan.
Dalilnya dari hadist Umar ibnu Khotob :
وعن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب قال: سمعت رسول الله يقول: إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه( متفق عليـــه
Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan. (Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naishaburi dan kedua kitab Shahihnya yang merupakan kitab yang paling shahih yang pernah dikarang) .
وهذا الحديث حديث عظيم حتى قال طائفة من السلف، ومن علماء الملة: ينبغي أن يكون هذا الحديث في أول كل كتاب من كتب العلم؛ ولهذا بدأ به البخاري -رحمه الله- صحيحه، فجعله أول حديث فيه حديث إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى بحسب اللفظ الذي أورده في أوله.  وهذا الحديث أصل من أصول الدين، وقد قال الإمام أحمد: ثلاثة أحاديث يدور عليها الإسلام:  حديث عمر: إنما الأعمال بالنيات .
وحديث عائشة: من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد .  وحديث النعمان بن بشير: الحلال بين والحرام بين 
Hadist ini merupakan hadist yang amat agung sehingga sebagian ulama' salaf berkata: " hendaknya hadist ini diletakkan diawal kitab dari kitab-kitab ilmu agama, karena itulah Imam Bukhari memulai menulis hadist dalam kitab shohihnya dengan hadist ini ( inamal a'malu binniyat ). Dan hadist ini merupakan salah satu usul ( pondasi ) dari sekian pondasi agama, dan telah berkata Imam Ahmad : " tiga hadist yang berputar & di bangun di atasnya Islam yaitu :
  1. Hadist Umar RA ini : Inamal a'malu binniyat. ( sesunggunya amalan tergantung niyatnya )
  2. Yang kedua hadistnya Aisyah RA : " Barang siapa mengada-ada ( berbuat bid'ah) suatu amalan dalam agama kami ( islam ) yang tidak ada contohnya ( dari rasulullah ) maka amalanya tertolak ( lihat arbain nawawi hadist ke 5 ) .
  3. Hadistnya Nu'man bin Basyir : sesunggunya halal telah jelas dan haram sudah jelas ( lihat arbain nawawi hadist ke 6 )
  1. Kedudukan & Fungsi Niat
Kedudukan niat adalah didalam hati namun dalam hal melafadkan niat & menjaherkannya ulama masih silang pendapat kecuali pada ibadah ibadah haji /umrah .
Fungsi niat adalah :                        
1. Untuk membedakan amalan itu ibadah ataupun adat dan perbuatan biasa.
Misal : mandi , mandi ini adalah hal biasa, namun jika dilakukan dengan niat ibadah , maka mandi ini akan bernilai ibadah, misal mandi wajib, mandi sebelum ihram, mandi sebelum sholat jum'at, begitu juga orang berkumur-kumur kemudian mencuci muka dan tangan dan mengusap kepala serta kaki , kalo dilakukan habis bangun tidur dengan tujuan biar bersih maka ini adalah hal biasa bukan ibadah, namun jika di lakukan dengan niat wudhu maka inilah ibadah dsb.
2. Untuk membedakan amalan satu dengan yang lainnya. Misalnya: orang menjamak sholat dhuhur dan asar, keduanya dilakukan dalam satu waktu & sama-sama 4 raka'at , maka untuk membedakan ini sholat dhuhur & itu sholat asyar adalah dengan niat, atau misalnya : kita masuk masjid kemudian kita sholat 2 raka'at , ada kemunkinan kita melakukan sholat tahiyatal masjid atau sholat sunnah qobliyah ( sunnah rawatib ) untuk membedaknya adalah dengan niat dsb. Dan dengan niat akan diketahui benar salahnya amalan itu, karena syarat ibadah selain niat adalah iklash dan mutaba'ah ( mengikuti sunnah nabi ) dan ibadah apapun harus memenuhi syarat ini, sedang iklhas ataupun tidak amalan tersebut juga tergantung niatnya , kalo niyatnya iklhas maka ibadahnya benar tapi kalo niatnya riya' maka ibadahnya salah.

  1.  Ayat dan Hadist Yang Berhubungan dengan Niat
Allah telah berfirman :

 
“Dan tidaklah mereka disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus” ( Al Bayyinah : 5 ) 


“ Barang siapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahanam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. 17:19. Dan barang siapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik”. ( Al Isra': 18-19 )  



“Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar”.( An Nisa: 114 )



Rasulullah telah bersabda : 


Hadistnya mua'd RA sesunguhnya rasulullah telah bersabda : " barang siapa yang berperang karena ghonimah maka baginya niat tersebut ( artinya: dia tidak mendapat pahala karena niatnya untuk mendapat harta rampasan perang).


Dan dalam musnad sesunggunya rasulullah SAW bersabda : sesungguhnya antara 2 kelompok yang berperang ( saling membunuh ) Allah lah yang tahu niat dalam hatinya (Al Hafidh Ibnu Hajar menghukumi bahwasannya hadist ini rawinya terpercaya sebagaiamana beliau berkata : rijaluhu mausuqun.

Dalam hadist lain dikatakan : "kemudian Allah membangkitkan manusia sesuai dengan niatnya " 
  1. Beberapa kaidah derivasi dari al-umuru bimaqaashidiha

a.                  .

“Tidak ada pahala selain dengan niat”
Selama perbuatan-perbuatan itu tidak dianggap baik atau buruk jika tanpa niat dari pelakunya, maka amal itu tidak akan memperoleh pahala selama tidak diniatkan yang baik. Ketetapan semacam ini telah disepakati oleh seluruh ulama.
Adapaun menegenai sahnya amal , ada yang telah disepakati oleh para ulama bahwa niat itu sebagai syaratnya, seperti shalat dan tayammum. Dan ada juga yang masih diperselisihkan, seperti niat di dalam wudhu. Ulama Syafi’iyyah dan Malikiyyah menganggap niat itu sebagai fardhu (wajib), ulama Hanabilah menganggapnya sebagai syarat sahnya dan ulama Hanafiyyah  menetapkan sebagai sunnat muakkadah. Artinya jika dengan niat, wudhunya merupakan ibadah yang dipahalai, jika tidak, tidak dipahalai, sekalipun shalatnya sah juga.

b.                  .

Dalam amal yang disyaratkan menyatakan niat, maka kekeliruan pernyatannya membatalkan amalnya.
Misalnya kekeliruan menyatakan niat :
            Dalam semmbahyang  zhuhur dengan sembahyang ashar. Menjadikan tidak sahnya amal perbuatan  yang dilakukan. Disebebkan masing-masing dari perbuatan itu dituntut adanya pernyataan niat untuk membedakan  ibadah yang satu dengan yang lainnya.
c.                   .


Perbuatan yang secara keseluruhan diharuskan niat tetapi secara terperinci tidak diharuskan menyatakan niatnya, maka bila dinyatakan niatnya, ternyata keliru,  berbahaya.
Misalnya seseorang yang niat shalat makmum kepada Muhammad, tetapi ternyata yang menjadi imam bukan Muhammad, tetapi Amin. Shalat jama’ah tersebut menjadi tidak sah. Sebab keimamahannya telah digugurkan oleh Muhammad, lantaran bermakmum kepada Amin tanpa diniatkan. Menyatakan siapa imamnya dalam sembahyang berjamaah tidak disyariatkan, tetapi yg disyariatkan adalah niatnya berjamaah.

d.                  .


Perbuatan yang secara keseluruhan, maupun secara terperinci tidak disyaratkan mengemukakan niat, bila dinyatakan dan ternyata keliru, tidak berbahaya.
Misalnya ketika ada seseorang yang sholat ashar di masjid dengan menyatakan niatnya sholat di masjid Ulil Albab, padahal ia sholat di masjid Syuhada, maka sholat orang tersebut tidak batal. Sebab niat sholatnya sudah dipenuhi dan benar, sedang yang keliru adalah pernyataan tempatnya. Kekeliruan tentang tempat sholat tidak ada hubungannya dengan niat sholat, baik secara garis besarnya atau terperinci.
e.                   .

Maksud lafadz tergantung pada orang yang mengatakannya.
Misalnya suami memanggil istrinya yang bernama thaliq (orang yang tertalaq) atau seorang pemilik budak yang memanggil namanya hurrah (orang yang merdeka), maka jika memanggilnya tersebut dengan maksud mentalaq atau memerdekakan budaknya, tercapailah maksudnya. Tetapi apabila maksudnya hanya memanggil saja, maka tidak akan membawa akibat demikian.

H. Kesimpulan

Baca Selengkapnya »»  

KONVERSI AGAMA MENURUT TINJAUAN ISLAM DAN UDHR (UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS)

1. Pendahuluan
Kebangkitan Islam di seluruh pelosok dunia Islam dalarn dua dekade belakangan ini menunjukkan semangat untuk melaksanakan undang-undang Islam secata total, terutama dalam penerapan undang-undang jinayah Islam. Di antara negara-negara Islam yang sudah memperkenalkan undang-undang jinayah Islam ialah Arab Saudi, Iran, Pakistan dan Sudan. Sehubungan dengan itu, perbincangan mengenai undang-undang jinayah Islam sangat menarik minat para cendikiawan seluruh dunia apapun latar belakang agamanya, termasuk dalam perbincangan seputar hubungan undang-undang jinayah Islam dengan persoalan hak-hak asasi manusia. Permasalahan selanjutnya mengarah pada pandangan islam mengenai status hukum konversi agama (yang menurut asumsi mayoritas (dunia) sekarang adalah menyangkut hak asasi manusia - hak berpendapat & beragama). Disisi lain, mayoritas ulama melarang keras penganut islam untuk meninggalkan agamanya dengan dikenakan hukuman yang berat yaitu dimati (bunuh). Persoalannya, apakah benar pemahaman yang mengatakan seseorang yang keluar Islam (murtad) dimati (bunuh) setelah enggan bertaubat? Atau hukuman ini hanya ketentuan Allah di mana seseorang yang keluar Islam akan disiksa di akhirat tanpa ada sanksi di dunia ini. Persoalan selanjutnya yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimanakah konsep konversi agama itu sendiri menurut consensus UDHR PBB?

2. Islam Versus HAM
Sebenarnya ide HAM berakar pada pandangan Barat terhadap tabiat manusia, hubungan individu dengan masyarakat/negara, tentang fakta masyarakat, dan tugas Negara. Kapitalisme memandang tabiat manusia pada dasarnya adalah baik, tidak jahat. Kejahatan yang muncul dari manusia disebabkan oleh pengekangan terhadap kehendaknya. Oleh karena itu, kehendak manusia harus dibiarkan bebas lepas agar dia mampu menunjukkan tabiat baiknya yang asli. Dari sinilah muncul ide kebebasan (freedom) yang menjadi salah satu ide yang menonjol dalam ideologi Kapitalisme. Pandangan tersebut menjadi dasar bagi apa yang disebut “kebebasan individu” –yang harus dipelihara– sebagai landasan HAM, yang meliputi kebebasan beraqidah/ beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan hak milik, dan kebebasan bertingkah laku.
Tabiat manusia sesungguhnya bukanlah baik seperti yang dikatakan oleh barat. Begitu pula bukan jahat seperti pandangan gereja, yang berasal dari filsafat-filsafat kuno yang dibangun atas dasar pandangan bahwa manusia telah mewarisi dosa Adam.
Menurut islam, yang benar adalah bahwasanya manusia memiliki naluri dan kebutuhan jasmani yang menuntut pemuasan. Dengan akal yang dikaruniakan oleh Allah, manusia kemudian mempunyai kehendak untuk memuaskan naluri dan kebutuhan jasmaninya. Apabila manusia memenuhi naluri dan kebutuhan jasmaninya dengan cara yang diridlai Allah (dengan ketaatan), maka dikatakan dia berbuat baik. Apabila dia memenuhi kebutuh- an naluri dan jasmaninya dengan cara yang dimurkai Allah (maksiat) berarti dia berbuat buruk.
Jadi tabiat manusia itu berpotensi untuk baik atau buruk sekaligus, tergantung pilihannya terhadap peraturan untuk memenuhi kebutuhan naluri dan jasmaninya. Sebagai- mana firman Allah SWT :
“Dan demi jiwa (manusia) serta penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah-lah yang mengilhamkan (menyerukan) kepada jiwa itu memilih (jalan) kefasikan (kemaksiatan) dan ketakwaannya (ketaatan kepada Allah)”. (QS. Asy Syams: 7-8)
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya (yakni manusia) dua jalan (baik dan buruk).” (QS. Al Balad: 10).

3. Tinjauan Sejarah HAM dan Hak Kebebasan/Konversi Agama

Pengertian hak asasi manusia yang diusung oleh sebenarnya bukanlah suatu yang asing dalam kamus Islam. Walaupun hak-hak asasi manusia seperti yang telah diketahui saat ini berasal dari Barat yang dipopulerkan oleh PBB , intisari konsep tersebut terdapat dalam ajaran Islam semenjak zaman Rasulullah s.a.w.
Sahifah Madinah atau juga dikenal dengan Piagam Madinah adalah salah satu contoh yang sering dikemukakan oleh para sarjana Islam bahwa Islam tidak mengabaikan kehendak hak-hak asasi manusia.
Walau bagaimanapun, terdapat pendapat orientalist yang mengucilkan hak-hak asasi manusia dalam Islam. Di antara mereka, Joseph Schact sebagai berkata:
"Islamic law is a system of duties, ritual obligations all of which are sanctioned by the same religious command."
Juga Henry Siegmen:
"Here is no such abstraction as individual rights could have been existed in Islam ..... what he has only obligations."
Konsepsi hak asasi manusia seperti mana yang ditawarkan dalam acuan Barat baru dikenali di negara-negara Islam setelah Perang Dunia Kedua. Konsep HAM barat didasarkan pada Article 18 The Universal Declaration of Human Rights yang menyatakan, “Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance”.
Sedangkan aturan Islam dalam article 10 “Cairo Declaration on Human Rights in Islam” menyatakan:
“Islam is the religion of true unspoiled nature. It is prohibited to exercise any form of pressure on man or to exploit his poverty or ignorance in order to force him to change his religion to another religion or to atheism.

4. Kebebasan Agama Menurut Persepsi Islam 

Menurut Hammudah 'Abdati, di sisi kaca mata Islam, "setiap individu dilahirkan bersih (fitrah)dari perbudakan, dosa, dan kasta." Walaupun manusia dilahirkan dalam kebebasan , kebebasan yang diberikan tidaklah bersifat mutlak kerana kebebasan mutlak hanya milik Allah SWT.
Dalam Islam, setiap individu mempunyai hak kebebasan beragama, mengamalkan dan beribadat mengikut agama yang dianutinya. Justru itu, setiap manusia juga diberi kebebasan mutlak untuk memilih mana-mana agama untuk dianutinya. Ini dijelaskan dalam al-Qur' an: "Maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir. "
AI-Qur' an juga secara terang menekankan bahwa dalam keadaan mana pun seseorang itu tidak boleh dipaksa untuk menganuti agama atau kebercayaan yang berlawanan dengan kehendaknya. Ini sesuai dengan firman Allah: "Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (fs'lam).
Islam tentu mengakui kebebasan beragama, hanya saja kebebasan beragama dalam Islam bersifat ibtidaiy (permulaan), dan tidak intiha’iy (diakhir). Artinya, seseorang pada awalnya dibebaskan untuk memilih agama yang ia yakini. Islam juga tidak memaksa umat agama lain untuk memeluk Islam. Pada tingkatan inilah, Islam mengakui kebebasan beragama. Setelah seseorang memeluk Islam, maka berarti ia telah mengikatkan dirinya pada Islam. Ia tidak lagi memiliki kebebasan untuk keluar Islam, termasuk mengingkari doktrin-doktrin umum dalam Islam. Seperti Muhammad sebagai nabi terakhir, kewajiban sholat, keesaan Allah dan lain sebagainya.
Bahkan hukum pidana Islam menetapkan hukum mati (bunuh) bagi orang yang yang beralih agama (murtad).
Nabi SAW bersabda:
“Siapa saja yang mengganti agamanya (Islam), maka mati (bunuh)lah dia.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Ashhabus Sunan)..”
Namun demikian ulama pun masih berbeda pendapat dalam penerapannya.
Hukuman Mati: Tafsiran al-Qur'an dan Interpretasi Hadith
Tidak terdapat satu ayat pun dalam aI-Qur'an yang menyebut mengenai hukuman atas orang murtad. Sebagai catatan juga, bahwasanya tiga belas ayat al-Qur' an yang menyebut mengenai murtad, menegaskan hukuman ke atas orang murtad hanya dikenakan di hari akhirat. Mohamed S. EI-Awa memberi beberapa contoh ayat-ayat yang menyentuh perkara ini, di antaranya iaIah:
a) Surah aI-Nahl, (16) : ayat 106 yang menyebut: "Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir pada hal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa),akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekajiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab
yang besar." Menurut Mohamed S. EI-Awa, ayat ini diturunkan di akhir hayat Nabi di Mekah dan secara jelas menunjukkan bahwa orang yang murtad diancam dengan azab pedih di akhirat.
b) Surah al-Baqarah, (2): ayat 217 yang berbunyi: "Barang siapa yang munad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." Ayat ini puIa diturunkan ketika Nabi berhijrah ke Madinah. Sekali lagi ayat ini membuktikan bahwa orang murtad tidak dikenakan apa-apa hukuman di dunia.
c) Surah al-Baqarah, (2): ayat 86-91 juga menegaskan bahwa orang yang murtad hendaklah disiksa tetapi bukan di dunia ini.
Sebenamya, pandangan mereka yang mengatakan hukuman mati (bunuh) ke atas orang murtad merujuk kepada tiga Hadis:
a) Dalam satu riwayat dikatakan dua kelompok yang dikenali dengan 'Ukayl dan 'Urayna telah keluar dari Islam. Lalu dikatakan mereka telah dihukum dengan hukuman mati (bunuh) oleh Nabi Muhammad s. 'a.w. Walau bagaimanapun, pandangan ini telah ditolak oleh sebahagian fuqaha' yang berpendapat bahwa hukuman mati (bunuh) yang dikenakan ke atas mereka bukan kerana mereka keluar Islam (murtad) tetapi kerana mereka merompak (hirabah).
b) Hadith yang diriwayatkan oleh Bukharl, Muslim dan Abu Dawd yang mengatakan "Tidak halal (mengambil) darah (nyawa) seseorang melainkan dengan salah satu dari tiga sebab yaitu janda atau duda yang berzina, memmati (bunuh) dan meninggalkan jemaahnya." Berdasarkan Hadith ini, majoritas fuqaha' beranggapan bahwa orang yang murtad (meninggalkan jemaah) hendaklah dihukum mati (bunuh). Walau bagaimanapun, Ibn Tayrniyyah mendakwa bahwa jinayah yang dimaksudkan dalarn Hadith ini merujuk kepada pengkhianat (baghy). Pendekatan ini menurut beliau adalah untuk menyesuaikan dengan ayat 33-34 dari Surah al-Mii'idah.
c) Hadith yang diriwayatkan oleh Ibn' Abbas di mana dikatakan Nabi Mulammad s. 'a.w. pemah bersabda: "barang siapa yang menukar agamanya hendaklah dimati (bunuh)." Hadith ini merupakan satu-satunya Hadith yang menjadi pegangan kuat majoritas fuqaha' bahwa orang yang murtad wajib dihukum mati.
Tetapi Hadith ini boleh membawa kepada interpretasi yang lain dengan beberapa alasan:
Pertama: Hadith ini dianggap tidak kuat kerana diriwayatkan dalam bentuk khabar Ahad. Oleh yang demikian, mengikut syarat dalam ilmu Usul al-Fiqh, ia tidak kuat bagi mengharuskan hukuman mati (bunuh).
Kedua: Hadith ini didatangi dalam kenyataan umum ('am) yang memerlukan kepada pengkhususan (takhsis). Bahkan al-Shawkny berpendapat Hadith ini telah ditakhsis dengan ayat 106, Surah al-Nahl yang menyebut: "Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir pada hal hatinya tetap tenang dalam keimanan (dia lidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, baginya azab yang besar. "
Mazhab Hanafi juga mengkhususkan maksud umum Hadith ini dengan membawa pendekatan bahwa seseorang wanita yang murtad tidak dihukum mati (bunuh) malah dikenakan penjara saja. Ini disokong oleh al-Shawkani di mana hukuman mati (bunuh) hanyalah dikenakan ke atas orang murtad yang membawa permusuhan kepada masyarakat dan boleh membawa kepada berperang (hirabah).
Ketiga: Yang paling penting sekali ialah ketiadaan bukti kukuh yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw pemah memaksa seseorang untuk masuk Islam maupun pernah menjatuhkan hukuman mati ke atas orang yang murtad.
Meskipun mayoritas ulama fiqh menetapkan hukuman mati (bunuh) ke atas mereka yang murtad, hukuman itu tidak boleh dilaksanakan kecuali selepas orang murtad itu disuruh bertaubat. Walaupun begitu, para fuqaha' berselisih pendapat dalam konteks tau bat. Menurut Imam Malik, satu pandangan dari Imam Shafl'l dan satu pandangan dari Imam Ahmad Ibn I!anbal, orang murtad hendaklah diberi peluang untuk bertaubat dalam masa tiga hari. Ada juga yang melanjutkan tempoh tersebut sehingga dua bulan. Manakala menurut pandangan lain, peluang bertaubat tidak perlu tetapi digalakkan.
Baca Selengkapnya »»  

AKHLAK KEPADA ALLAH (3) : AKHLAK KETIKA BERPUASA


Orang yang akan melaksanakan ibadah puasa hendaknya memperhatikan adab-adab berikut ini:


a.      Menyempatkan diri untuk makan sahur.



Orang yang berpuasa sangat dianjurkan untuk makan sahur. Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Amru bin Al-‘Ash  bahwa Rasulullah bersabda:


فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحُوْرِ


“Perbedaan antara puasa kami dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim).

Mengenai keutamaan sahur, Rasulullah  bersabda:

                                                    
الْبَرَكَةُ فِيْ ثَلاَثَةٍ: الْجَمَاعَةِ وَالثَّرِيْدِ وَالسَّحُوْرِ


“Berkah ada pada 3 hal: berjamaah, tsarid (roti remas yang direndam dalam kuah) dan Sahur.

                           

b.      Menahan diri agar  tidak  melakukan  perbuatan  yang  sia-sia,  perkataan  kotor dan  semisalnya  yang termasuk hal-hal yang bertentangan dengan ma’na puasa.[5]


Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seorang diantara kamu bepuasa, maka janganlah mengeluarkan perkataan kotor, jangan berteriak-teriak dan jangan pula melakukan perbuatan jahiliyah; jika ia dicela atau disakiti oleh orang lain, maka katakan, “Sesungguhnya aku sedang berpuasa,” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV:118 no:1904, Muslim II:807 no:163 dan 1151, dan Nasa’i IV:163).

Dari (Abu Hurairah) r.a. bawah Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan bohong dan pelaksananya, maka tidak ada gunanya ia meninggalkan makan dan minumnya.” (Shahih: Mukhtashar Bukhari no:921), Fathul Bari IV:116 no:1903, ‘Aunul Ma’bud VI: 488 no:2345, Tirmidzi II:105 no:702).

c.       Rajin melaksanakan berbagai kebajikan dan tadarus al-Qur’an.
Dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata, “Adalah Nabi saw. orang yang paling dermawan dalam hal kebajikan, lebih dermawan lagi manakal Beliau berada dalam bulan Ramadhan ketika bertemu dengan (malaikat) Jibril. (Malaikat Jibril’alaihisalam bertemu dengan beliau setiap malam pada bulan Ramadhan sampai akhir bulan, Nabi saw. membaca al-Qur’an di hadapannya. Maka apabila Beliau bertemu dengan (Jibril) beliau menjadi orang yang lebih dermawan dalam hal kebaikan daripada angin kencang yang dikirim.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV:30 no:6, dan Muslim II: 1803 no: 2308.


d.      Menyegerakan untuk berbuka puasa.


Orang yang berpuasa dianjurkan untuk mempercepat berbuka jika memang telah masuk waktu berbuka. Tidak boleh menundanya meski ia merasa masih kuat untuk berpuasa. ‘Amr bin Maimun Al-Audi meriwayatkan:



كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْجَلَ النَّاسِ إِفْطًارًا وَأَبْطَأَهُمْ سُحُوْرًا


“Para shahabat Muhammad n adalah orang yang paling cepat berbukanya dan paling lambat sahurnya.” (HR. Al-Baihaqi, 4/238, dan Al-Hafidz Ibnu Hajar t menshahihkan sanadnya).


e.       Membaca do’a ketika akan berbuka.


Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits berikut :
Dari Ibnu Umar r.a. berkata, “Adalah Rasulullah saw. apabila akan berbuka mengucapkan, DZAHABA ZHAMA-U WABTALLATIL ‘URUUKU, WA TSABATAL AJRU INSYAA-ALLAH (Telah hilang rasa haus dahaga dan telah basah urat tenggorokan, dan semoga tetaplah pahal (bagi yang berbuka) insya Allah).” (Hasan Shahih Abu Daud no:2066, ‘Aunul Ma’bud VI: 482 no:2340)

f.       Menahan diri dari perkara yang dapat membatalkan puasa. Hal-hal yang membatalkan puasa diantaranya.

- Makan dan minum dengan sengaja

-  Melakukan hubungan suami istri di siang hari Ramadhan.
-Berbekam
         Ini termasuk perkara yang membatalkan puasa menurut     pendapat yang rajih,berdasarkan hadits Rasulullah:

 
أفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُوْم


-                      Muntah dengan sengaja.

-                      Menggunakan cairan pengganti makanan melalui infuse.

-                      Onani.

g.      Amalan lain yang dianjurkan selama berpuasa:

                  a.                  Memperbanyak shadaqah.

b.                  Memperbanyak bacaan Al Qur’an, dzikir, doa, dan shalat.

c.                   Memberikan makan kepada orang yang berbuka puasa


مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئً



DAFTAR  PUSTAKA
Ainnurrahim Rahim Faqih dkk. 2003. Menuju Kemantapan Tauhid dengan Ibadah dan Akhlakul Karimah, Edisi kedua. Yogyakarta:UII Press.
Arif Munandar Riswanto,2007.  Doa Menghadapi Musibah. Bandung.:Mizan. Hal
http://ghuroba.blogsome.com/2008/01/18/pakaian-kita-ketika-shalat/
http://bhayusenoaji.wordpress.com/2008/07/09/adab-dalam-shalat/
http://alislamu.com/index.php?option=com_content&task=view&id=243&Itemid=6





[1]----- (editor) Ainnurrahim Rahim Faqih dkk. 2003. Menuju Kemantapan Tauhid dengan Ibadah dan Akhlakul Karimah, Edisi kedua. Yogyakarta:UII Press. Hal. 43-44
[2] http://ghuroba.blogsome.com/2008/01/18/pakaian-kita-ketika-shalat/
[3] http://bhayusenoaji.wordpress.com/2008/07/09/adab-dalam-shalat/
[4] Arif Munandar Riswanto,2007.  Doa Menghadapi Musibah. Bandung.:Mizan. Hal
[5] http://alislamu.com/index.php?option=com_content&task=view&id=243&Itemid=6


Baca Selengkapnya »»  

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes