Dalam Islam, modernisasi berarti upaya yang sungguh-sungguh untuk melakukan reinterpretasi tetentang terhadap pemahaman dan pemikiran terdahulu untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman. Dengan demikian yang diperbarui adalah hasil pemahaman terhadap al-Qur’an dan al-Hadits tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut kiranya dapat diperoleh suatu pemahaman bahwa yang dimaksud dengan Islam modernis adalah paham ke-Islaman yang didukung oleh sikap yang rasional, ilmiah serta sejalan dengan hukum-hukum Tuhan baik yang terdapat dalam al-Qur’an maupun dalam alam raya berupa Sunatullah.
2. Masuk dan Berkembangnya Corak-Corak Pemikiran Modern Dalam Islam di Indonesia
Perkembangan pemikiran Islam di Indonesia baru dimulai sejak sekitar masa pergerakan nasional. Pemikiran Islam pada masa itu juga tidak lepas dari gerakan pembaruan Islam yang ada di Timur Tengah (terutama Mesir).
Pemikiran Islam di Indonesia berkembang cukup pesat di awal abad ke-20. Hal itu ditandai dengan lahirnya gerakan modernisme. Gerakan modernisme yang bertumpu pada Qur’an dan Sunnah berupaya untuk mengembalikan kembali umat Islam kepada sumber ajarannya yang tidak pernah usang ditelan zaman sehingga tidak perlu diperbarui. Namun, hal ini perlu diangkat lagi ke permukaan masyarakat yang telah tertutup oleh tradisi dan adat istiadat yang tidak sesuai dengan ajaran pokok tersebut (tradisionalisme). Pengusung gerakan modernisme pada saat itu antara lain adalah H.O.S. Cokroaminoto, KH Ahmad Dahlan, Agus Salim, dan Mohammad Natsir. Perubahan dari taqlid kepada ijtihad merupakan akar pemikiran Islam tersebut. Akar pemikiran itu lalu menjalar kepada pemikiran aplikatif dalam kehidupan modern. Beberapa hal yang sering menjadi bahan pembicaraan atau bahkan perdebatan adalah mengenai politik dan negara. Pada tahun 1940-an, terjadi polemik pemikiran politik Islam antara Natsir dan Soekarno. Pembicaraan mengenai hal ini adalah sebuah respon seorang Mohammad Natsir atas pernyataan pemikiran Soekarno bahwa zaman modern menuntut pemisahan agama dan negara seperti yang dipraktekkan oleh Musthafa Kemal “Attaturk” Pasha di Mesir.
Pemikiran Soekarno terkait dengan gagasan pemisahan agama dari negara di Barat (Eropa) yang menyatakan bahwa agama adalah aturan spiritual (akhirat) dan negara adalah aturan duniawi (secular). Ditambahkan oleh soekarno bahwa agama adalah urusan spiritual pribadi, sedangkan masalah negara adalah persoalan dunia dan kemasyarakatan. Berdasarkan hal tersebut, ia menilai bahwa pelaksanaan ajaran agama hendaknya menjadi tanggung jawab setiap pribadi muslim dan bukan negara atau pemerintah. Negara dalam hal ini tidak turut campur untuk mengatur dan memaksakan ajaran-ajaran agama kepada para warga negaranya. Tapi menurutnya dengan dipisahkannya agama dengan negara bukan berarti ajaran Islam dikesampingkan, sebab dalam negara demokrasi, semua aspirasi termasuk aspirasi keIslaman dapat disalurkan melalui parlemen. Umat Islam juga jangan terpaku dengan bentuk formal atau luar ajaran Islam tetapi lebih memperhatikan isi (substansi) atau semangat ajaran Islam. Apabila Indonesia menjadi Negara Islam dan Islam diterima sebagai dasar negara maka akan terjadi perpecahan di Indonesia karena tidak seluruh rakyat Indonesia beragama Islam. Menurut pandangan Soekarno, negara nasional adalah cita-cita rakyat Indonesia. Dalam usaha membangkitkan semangat cinta tanah air harus ditekankan pentingnya persatuan yang menurutnya tidak dapat didasarkan pada sukuisme, agama, atau ras. Persatuan bangsa menurut Soekarno (mengutip Ernest Renan) hanya bisa dibangun oleh kehendak untuk bersatu (le desire d’etre ensemble) dan rasa pengabdian kepada tanah air. Persatuan harus mengabaikan kepentingan golongan yang sempit sekalipun berupa kepentingan Islam. Beberapa poin diatas merupakan gambaran singkat pemikiran Soekarno mengenai Islam dan Negara.
Sementara itu, Natsir mengemukakan pandangannya tentang negara Islam. Salah satu penyebab mengapa orang tidak setuju tentang persatuan agama dan negara ialah karena gambaran yang keliru mengenai negara Islam. Gambaran yang disampaikan para Orientalis Barat itu menurutnya telah menyimpang dari bentuk asli negara Islam dan telah mempengaruhi umat Islam untuk tidak menyetujui penyatuan Islam dengan Negara. Menurutnya, kekhalifahan Turki Utsmani terakhir (yang menurut Soekarno dianggap sebagai Negara Islam) dinilai tidak mencerminkan ciri-ciri Negara Islam. Natsir juga berpandangan bahwa negara sebagai alat untuk merealisasikan cita-cita Islam sesuai Al Quran dan Sunnah dan bukan merupakan tujuan akhir dalam Islam. Dalam Fiqhud Da’wah, Natsir menggambarkan bahwa hidup duniawi dan ukhrawi pada hakikatnya hanyalah dua fase (tahapan) dari kehidupan yang satu dan kontinyu; fase yang satu berkesinambungan dengan yang lain bagaikan bersambungnya siang dan malam. Ajaran Islam menurutnya tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya tetapi juga hubungan manusia dengan sesamanya. Dalam Islam terdapat semua perangkat aturan di setiap aspek kehidupan tanpa terkecuali. Prinsip kenegaraan dalam Islam menekankan kepada bentuk musyawarah atau syuro. Tapi menurutnya, musyawarah dalam Islam berbeda dengan demokrasi karena dasar pemerintahan harus bersandar kepada ajaran Islam yang sudah jelas dan pasti (qath’i). Jadi prinsip pemerintahan negara tidak boleh ada yang lain walaupun ditentukan melalui proses musyawarah parlemen atau meminta persetujuan mayoritas warga negara. Dalam hal ini, Natsir menyatakan bahwa untuk dasar negara hanya mempunyai dua pilihan yaitu Sekularisme (la-diniyah, atau paham agama (dini). Maka negara yang dikehendaki Natsir adalah negara yang pada prinsipnya diatur oleh hukum-hukum Allah (syariat Islam).
Bahan pembicaraan lainnya terkait dengan pemikiran modernis Islam di Indonesia adalah mengenai pembinaan sosial-ekonomi masyarakat Indonesia menurut Islam. Pemikiran tentang hal tersebut diusung oleh Agus Salim dan Tjokroaminoto ketika mereka (pada masanya masing-masing) berhadapan dengan pihak komunis dan nasionalis. Pada umumnya, sampai pada masa konstituante tahun 1956-1959, pemikiran Islam di Indonesia berkisar pada soal-soal ibadah dan muamalah.
Sering perkembangan-perkembangan Islam dan non-Islam cenderung berinteraksi dan tumpang tindih satu sama lain, karena pembaruan-pembaruan Islam sejak waktu paling awal tidak hanya menyentuh bidang keagamaan dan sosial tetapi juga bidang politik.
Kompleksitas-kompleksitas ini ditunjukkan dengan baik oleh dua organisasi besar –Muhammadiyah dan Sarekat Islam yang lahir di daerah kerajaan-kerajaan Jawa pada tahun 1912. Meskipun keduanya telah didahului oleh perserikatan-perserikatan Islam lebih awal dan lebih kecil, namun era modern dapat dikatakan dimulai dengan kedua organisasi ini. Berbeda dengan kelompok-kelompok kegamaan yang berkecendrungan modernis lainnya, kedua organisasi di atas dalam perjalanan waktu berkembang menjadi gerakan berskala pulau, dan akhirnya berskala bangsa yang melibatkan ratusan ribu bahkan jutaan orang Indonesia.
Jika ditinjau dari anggaran dasarnya, dapat disimpulkan tujuan Serikat Islam yang dikomandoi oleh HOS Cokroamonoto adalah sebagai berikut:
1. Mengembangkan jiwa dagang.
2. Membantu anggota-anggota yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha.
3. Memajukan pengajaran dan semua usaha yang mempercepat naiknya derajat rakyat.
4. Memperbaiki pendapat-pendapat yang keliru mengenai agama Islam.
5. Hidup menurut perintah agama.
Walaupun Belanda mencoba menghapuskan hukum Islam yang menghalangi kepentingan perdagangan meraka, banyak pendukung baru bermunculan seperti K.H Hasyim Asy’ari dan K.H Khatib Minangkabau. Keduanya memajukan studi dan perkembangan wacana hukum Islam di tengah derasnya tekanan pemerintah kolonial Belanda. Keberadaan institusi Islam di tengah derasnya tekanan pemerintah kolonial Belanda. Keberadaan intitusi Islam di pedesaan yag jauh dari cengkraman Belanda di perkotaan memberikan kesempatan bagi perkembangan komunitas Muslim yang terdidik yang memilih untuk mematuhi norma-norma Islam daripada hukum buatan yang datang dari Belanda.
Kegigihan komunitas Muslim terbayar ketika Belanda pada akhirnya mengakui kebutuhan untuk mengintegrasikan hukum Islam ke dalam kerangka kerja administrasi kolonoal. Transisi yang dimulai sejak awal kedatangan Islam di Nusantara sampai kepada infuse system Islam ke dalam sistem administrasi kolonial mengalami percepatan pada awal abad ke-20 ketika muncul gerakan modernis (al-tajdid) yang berusa memurnikan kembali ajaran Islam yang dianggap telah terkontaminasi oleh mistisme di masa-mas awal interaksi islma dengan budaya lokal. Tulisan-tulisan baru mengenai ‘tauhid’, ‘tafsir’, ‘fiqih’, ‘filsafat isla’ dan aspek lainnya muncul dan merembes di Indonesia degan dimulainya gerakan Muhammadiyah pada tahun 1912.
Organisasi ini terbentuk karena masyarakat Islam yang berpandangan maju menginginkan terbentuknya sebuah organisasi yang mampu menampung aspirasi mereka dan menjadi sarana bagi kemajuan umat Islam. Keberadaan tokoh-tokoh Islam yang berpandangan maju tersebut terbentuk karena pendidikan serta pergaulan dengan kalangan Islam di seluruh dunia melalui ibadah haji. Salah seorang tokoh tersebut adalah K.H Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan organisasi ini.
Gerakan dakwah Muhammadiyah dapat dilihat dari dua aspek, normatif dan historis. Berdasarkan tuntunan al-Qur’an dan al-Sunnah, secara normatif Dakwah Muhammadiyah terkonsentrasi di dalam gerakan purifikasi teologi ( melepaskan agama Islam dari adat kebiasaan yang jelek yang tidak berdasarkan al-Quran dan Sunnah Rasul)dan secara historis fokus pada gerakan modernisasi sosial ekonomi. Sesuai dengan Anggaran Dasar Muhammadiyah, tujuan dari gerakan Muhammadiyah adalah:
1. Untuk membersihkan Islam dari pengaruh dan kebiasaan-kebiasaan non-Islam.
2. Mereformulasi doktrin-doktrin Islam dengan paradigma modern.
3. Mereformasi sistem pendidikan dengan memberikan pendidikan agama dan umum pada sekolah-sekolah yang didirikan sendiri.
4. Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan-serangan dari luar.
Berikutnya lahir pula suatu pemikiran modernis Islam, yaitu NU. Nahdlatul Ulama artinya kebangkitan ulama-ulama. NU lahir pada 31 Januari 1926 dan pengurus besarnya berkedudukan di Surabaya sebagai pembela terhadap mazhab Syafi’i. Maksud dari Perkumpulan ini adalah memegang teguh pada salah satu mazhab Imam Empat, yaitu Imam Syafi’I, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hambal, dan mengerjakan apa saja yang menjadi kemaslahatan agama Islam. Menganut prinsip manhaj ulama salaf melalui adigium ”al- Muhafadzoh ‘ala al-Qadim al-Shaleh wa al-Akhdzu bi al-Jadid al- Ashlah” yang artinya melestarikan khazanah lama yang baik dan mengambil khazanah baru yang lebih baik.
Dalam kesadaran nasional, NU tidak ketinggalan dengan yang lain dalam memperjuangkan kesadaran kemerdekaan atas tanah airnya. Perbaikan-perbaikan dalam bahasa Indonesia dan penggunaannya dalam muktamar/konggres selalu diusahakan, juga menyokong agar Indonesia memiliki parlemen. Pembahasan yang dilakukan dalam kongres-kongresnya selain membicarakan tentang hukum-hukum syariat agama, juga tentang tata masyarakat dan tata Negara.
Selain pergerakan modernis yang disebutkan di atas, masih terdapat gerakan modernis lain, seperti al-Irsyad, PERSIS, dan yang lainnya. Bersama dengan NU dan Muhammadiyah, al-Irsyad dan PERSIS termasuk organisasi Islam pembaharu yang paling berpengaruh di Indonesia. Kiprah mereka sebagai lokomotif perkembangan umat Islam di Indonesia tidak diragukan dan telah mengakar dan membaur dalam sendi kehidupan bangsa Indonesia.
Secara umum, orientasi pemikiran keagamaan pembaruan Islam ditandai oleh wawasan keagamaan yang menyatakan bahwa Islam merupakan nilai risalah yang universal yang pasti relevan bagi setiap perkembangan zaman dan tempat (shalih li-kulli zaman wa makan), mondial (untuk seantero dunia) dan eternal (sampai akhir zaman) dan karenanya harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi mereka, pengamalan ini tidak hanya terbatas pada persoalan ritual-ubudiyah, tetapi juga meliputi semua aspek kehidupan social kemasyarakatan dan senantiasa akan berkembang seiring dengan berjalan dan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi.