Wednesday, December 22, 2010

Mengenal Faham Asy'ariyah

A. SEJARAH BERDIRI DAN PERKEMBANGAN ASY’ARIYAH
1. Pendiri
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.
Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i, salah seorang pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi senjata baginya untuk membantah kelompok Muktazilah.
Al-Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).
Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.
Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.
Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.
2. Pemikiran Al-Asy'ari dalam Masalah Akidah
Ada tiga periode dalam hidupnya yang berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya dalam masalah akidah.
1. Periode Pertama
Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah. Bahkan sampai menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah Muktazilah, hingga sampai pada titik kelemahannya dan kelebihannya.
2. Periode Kedua
Beliau berbalik pikiran yang berseberangan paham dengan paham-paham Muktazilah yang selama ini telah mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau merenung dan mengkaji ulang semua pemikiran Muktazilah selama 15 hari. Selama hari-hari itu, beliau juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan mengkritik balik pemikiran akidah muktazilah.
Di antara pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika akal, yaitu:
•Al-Hayah (hidup)
•Al-Ilmu (ilmu)
•Al-Iradah (berkehendak)
•Al-Qudrah (berketetapan)
•As-Sama' (mendengar)
•Al-Bashar (melihat)
•Al-Kalam (berbicara)
Sedangkan sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya. Maksudnya beliau saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya itu, namun beliau menafsirkannya dengan berbagai penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah dan lainnya.
3. Periode Ketiga
Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan, tanpa takyif, ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif.
Beliau para periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan:
• TAKYIF: menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah
• TA'THIL: menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki
• TAMTSIL: menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu.
• TAHRIF: menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna
lainnya.
Pada periode ini beliau menulis kitabnya "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah." Di dalamnya beliau merinci akidah salaf dan manhajnya. Al-Asyari menulis beberapa buku, menurut satu sumber sekitar tiga ratus.
3. Sejarah Berdirinya Asy’ariyah
Pada masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab tantangan akidah dengan menggunakan ratio telah menjadi beban. Karena pada waktu itu sedang terjadi penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Al-Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen Barat ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli.
Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan—manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
4. Penyebaran Akidah Asy-'ariyah
Akidah ini menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani Saljuq dan seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Juga didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha mazhab Asy-Syafi'i dan mazhab Al-Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy-'ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia.
B. ISTILAH ASY’ARIYAH DAN AHLU SUNNAH WAL JAMAAH
As-Sunnah dalam istilah mempunyai beberapa makna. As-Sunnah menurut para Imam yaitu thariqah (jalan hidup) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di mana beliau dan para shahabat berada di atasnya. Mereka adalah orang yang selamat dari syubhat dan syahwat, sebagaimana yang tersirat dalam ucapan Al-Fudhail bin Iyadh, "Ahlus Sunnah itu orang yang mengetahui apa yang masuk ke dalam perutnya dari (makanan) yang halal.” Karena tanpa memakan yang haram termasuk salah satu perkara sunnah yang besar yang pernah dilakukan oleh Nabi dan para shahabat radhiyallahu 'anhum.
Dalam pemahaman kebanyakan ulama muta'akhirin dari kalangan Ahli Hadits dan lainnya, as-sunnah itu ungkapan tentang apa yang selamat dari syubhat-syubhat dalam i'tiqad khususnya dalam masalah-masalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari Akhir, begitu juga dalam masalah-masalah Qadar dan Fadhailush-Shahabah (keutamaan shahabat).
Para Ulama itu menyusun beberapa kitab dalam masalah ini dan mereka menamakan karya-karya mereka itu sebagai "As-Sunnah". Menamakan masalah ini dengan "As-Sunnah" karena pentingnya masalah ini dan orang yang menyalahi dalam hal ini berada di tepi kehancuran. Adapun Sunnah yang sempurna adalah thariqah yang selamat dari syubhat dan syahwat.
Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah shahabatnya radhiyallahu 'anhum. Al-Imam Ibnul Jauzi menyatakan tidak diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan atsar para shahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah.
Kata "Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna. Pertama, mengikuti sunah-sunah dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah shallallu 'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum, menekuninya, memisahkan yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam.
Kedua, lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama di mana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu i'tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma'.
Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.
Ibnu Sirin rahimahullah menyatakan bahwa mereka pada mulanya tidak pernah menanyakan tentang sanad. Ketika terjadi fitnah (para ulama) mengatakan: Tunjukkan (nama-nama) perawimu kepada kami. Kemudian ia melihat kepada Ahlus Sunnah sehingga hadits mereka diambil. Dan melihat kepada Ahlul Bi'dah dan hadits mereka tidak di ambil.
Al-Imam Malik rahimahullah pernah ditanya, "Siapakah Ahlus Sunnah itu? Ia menjawab, “Ahlus Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang sudah terkenal yakni bukan Jahmi, Qadari, dan bukan pula Rafidli.”
Kemudian ketika Jahmiyah mempunyai kekuasaan dan negara, mereka menjadi sumber bencana bagi manusia, mereka mengajak untuk masuk ke aliran Jahmiyah dengan anjuran dan paksaan. Mereka menggangu, menyiksa dan bahkan membunuh orang yang tidak sependapat dengan mereka. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan Al-Imam Ahmad bin Hanbal untuk membela Ahlus Sunnah. Di mana beliau bersabar atas ujian dan bencana yang ditimpakan mereka.
Beliau membantah dan patahkan hujjah-hujjah mereka, kemudian beliau umumkan serta munculkan As-Sunnah dan beliau menghadang di hadapan Ahlul Bid'ah dan Ahlul Kalam. Sehingga, beliau diberi gelar Imam Ahlus Sunnah.
Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa istilah Ahlus Sunnah terkenal di kalangan Ulama Mutaqaddimin (terdahulu) dengan istilah yang berlawanan dengan istilah Ahlul Ahwa' wal Bida' dari kelompok Rafidlah, Jahmiyah, Khawarij, Murji'ah dan lain-lain. Sedangkan Ahlus Sunnah tetap berpegang pada ushul (pokok) yang pernah diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan shahabat radhiyallahu 'anhum.
Dengan demikian, ahlus sunnah wal jamaah adalah istilah yang digunakan untuk menamakan pengikut madzhab As-Salafus Shalih dalam i'tiqad. Banyak hadits yang memerintahkan untuk berjamaah dan melarang berfirqah-firqah dan keluar dari jamaah. Namun, para ulama berselisih tentang perintah berjamaah ini dalam beberapa pendapat:
1. Jamaah itu adalah As-Sawadul A'dzam (sekelompok manusia atau kelompok terbesar) dari pemeluk Islam.
2. Para Imam Mujtahid
3. Para Shahabat Nabi radhiyallahu 'anhum.
4. Jamaahnya kaum muslimin jika bersepakat atas sesuatu perkara.
5. Jamaah kaum muslimin jika mengangkat seorang amir.
Pendapat-pendapat di atas kembali kepada dua makna. Pertama,
bahwa jamaah adalah mereka yang bersepakat mengangkat seseorang amir (pemimpin) menurut tuntunan syara', maka wajib melazimi jamaah ini dan haram menentang jamaah ini dan amirnya.
Kedua, bahwa jamaah yang Ahlus Sunnah melakukan i'tiba' dan meninggalkan ibtida' (bid'ah) adalah madzhab yang haq yang wajib diikuti dan dijalani menurut manhajnya. Ini adalah makna penafsiran jamaah dengan Shahabat Ahlul Ilmi wal Hadits, Ijma' atau As-Sawadul A'dzam.
Syaikhul Islam mengatakan, "Mereka (para ulama) menamakan Ahlul Jamaah karena jamaah itu adalah ijtima' (berkumpul) dan lawannya firqah. Meskipun lafadz jamaah telah menjadi satu nama untuk orang-orang yang berkelompok. Sedangkan ijma' merupakan pokok ketiga yang menjadi sandaran ilmu dan dien. Dan mereka (para ulama) mengukur semua perkataan dan pebuatan manusia zhahir maupun bathin yang ada hubungannya dengan din dengan ketiga pokok ini (Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma').
Istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah mempunyai istilah yang sama dengan Ahlus Sunnah. Dan secara umum para ulama menggunakan istilah ini sebagai pembanding Ahlul Ahwa' wal Bida'. Contohnya : Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhum mengatakan tentang tafsir firman Allah Ta'ala, ”Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri dan adapula muka yang muram.” [Ali Imran: 105].
"Adapun orang-orang yang mukanya putih berseri adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah sedangkan orang-orang yang mukanya hitam muram adalah Ahlul Ahwa' wa Dhalalah.”
Sufyan Ats-Tsauri menyatakan bahwa jika sampai (khabar) kepadamu tentang seseorang di arah timur ada pendukung sunnah dan yang lainnya di arah barat maka kirimkanlah salam kepadanya dan doakanlah mereka. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah firqah yang berada di antara firqah-firqah yang ada, seperti juga kaum muslimin berada di tengah-tengah milah-milah lain. Penisbatan kepadanya, penamaan dengannya dan penggunaan nama ini menunjukkan atas luasnya i'tiqad dan manhaj.
Nama Ahlus Sunnah merupakan perkara yang baik dan boleh serta telah digunakan oleh para ulama salaf. Di antara yang paling banyak menggunakan istilah ini ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Istilah ahlu sunnah dan jamaah ini timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham gilongan Muktazilah, yang telah dikembangkan dari tahun 100 H atau 718 M. Dengan perlahan-lahan paham Muktazilah tersebut memberi pengaruh kuat dalam masyarakat Islam. Pengaruh ini mencapai puncaknya pada zaman khalifah-khalifah Bani Abbas, yaitu Al-Makmun, Al-Muktasim, dan Al-Wasiq (813 M-847 M). Pada masa Al-Makmun, yakni tahun 827 M bahkan aliran Muktazilah diakui sebagai mazhab resmi yang dianut negara.
Ajaran yang ditonjolkan ialah paham bahwa Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Menurut mereka yang qadim hanyalah Allah. Kalau ada lebih dari satu zat yang qadim, berarti kita telah menyekutukan Allah. Menurut mereka Al-Qur’an adalah makhluk yang diciptakan Allah. Sebagai konsekuensi sikap khalifah terhadap mazhab ini, semua calon pegawai dan hakim harus menjalani tes keserasian dan kesetiaan pada ajaran mazhab.
Mazhab ahlu sunnah wal jaamaah muncul atas keberanian dan usaha Abul Hasan Al-Asy’ari. Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah wal Jamaah. Untuk selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada kelompok pahan teologi Asy’ariyah ataupun Maturidiyah.
Asy'ariyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini. Kebanyakan di kalangan mereka mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jamaah" adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asy'ariyah, Maturidiyah,dan Madzhab Salaf.
Sebenarnya, antara Asy’ariyah dan Maturidiyah sendiri memiliki beberapa perbedaan, di antaranya ialah dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Tentang sifat Tuhan
Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.
2. Tentang Perbuatan Manusia
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujdukan oleh manusia itu sendiri.
3. Tentang Al-Quran
Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq.
4. Tentang Kewajiban Tuhan
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat Mu`tazilah.
5. Tentang Pelaku Dosa Besar
Pandangan Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.
6. Tentang Janji Tuhan
Keduanya sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya. Seperti memberikan pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada yang berbuat jahat.
7. Tetang Rupa Tuhan
Keduanya sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Quran yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah.
Az-Zubaidi menyatakan bahwa jika dikatakan Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah.
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengemukakan bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jamaah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.
Al-Ayji menuturkan bahwa Al-Firqatun Najiyah yang terpilih adalah orang-orang yang Rasulullah berkata tentang mereka, "Mereka itu adalah orang-orang yang berada di atas apa yang aku dan para shahabatku berada diatasnya." Mereka itu adalah Asy'ariyah dan Salaf dari kalangan Ahli Hadits dan Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Hasan Ayyub menuturkan bahwa ahlus sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid.
Uraian di atas menjelaskan bahwa Asy’ariyah adalah ahlus sunnah wal jamaah itu sendiri. Pengakuan tersebut disanggah oleh Ibrahim Said dalam majalah Al-Bayan bahwa:
1. Bahwa pemakaian istilah ini oleh pengikut Asy'ariyah dan Maturidiyah dan orang-orang yang terpengaruh oleh mereka sedikit pun tidak dapat merubah hakikat kebid'ahan dan kesesatan mereka dari Manhaj Salafus Shalih dalam banyak sebab.
2. Bahwa penggunaan mereka terhadap istilah ini tidak menghalangi kita untuk menggunakan dan menamakan diri dengan istilah ini menurut syar'i dan yang digunakan oleh para ulama Salaf. Tidak ada aib dan cercaan bagi yang menggunakan istilah ini. Sedangkan yang diaibkan adalah jika bertentangan dengan i'tiqad dan madzhab Salafus Shalih dalam pokok (ushul) apa pun.
Sayangnya, Ibrahim Said dalam makalahnya tidak menjelaskan kebatilan paham Asy’ariyah yang didakwakannya. Dalam buku Nasy’atul Asy’ariyyah wa Tathawwuruha, disebutkan bahwa istilah ahlus sunah wal jamaah memiliki dua makna, yaitu umum dan khusus. Makna secara umum dimaksudkan sebagai lawan dari Syi’ah yang di dalamnya juga masuk golongan Muktazilah dan Asya’irah. Makna khusus digunakan untuk menyebut Asya’riyah tanpa selainnya dari aliran-liran kalam dalam pemikiran filsafat Islam.
Jadi, makna ahlus sunnah secara umum dimaksudkan sebagai lawan dari kelompok Syi’ah, Muktazilah, dan bahkan Asy’ariyah itu sendiri. Adapun makna khususnya digunakan untuk menyebut Asy’ariyah untuk membedakannya dengan aliran-aliran kalam dalam pemikiran filsafat Islam.
C. PANDANGAN-PANDANGAN ASY’ARIYAH
Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di antaranya ialah:
1. Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti yang melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti yang ada pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.
2. Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
3. Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena diciptakan.
4. Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan oleh Tuhan.
5. Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan
berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).
6. Mengenai anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti apa pun.
7. Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebaba tidak mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus dibedakan antara iman, kafir, dan perbuatan.
Berkenaan dengan lima dasar pemikiran Muktazilah, yaitu keadilan, tauhid, melaksanakan ancaman, antara dua kedudukan, dan amar maksruf nahi mungkar, hal itu dapat dibantah sebagai berikut.
Arti keadilan, dijadikan kedok oleh Muktazilah untuk menafikan takdir. Mereka berkata, “Allah tak mungkin menciptakan kebururkan atau memutuskannya. Karena kalau Allah menciptakan mereka lalu menyiksanya, itu satu kezaliman. Sedangkan Allah Maha-adil, tak akan berbuat zalim.
Adapun tauhid, mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa sesuatu yang tidak berawal. Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini bahwa ilmu Allah, kekuasaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk. Sebab kalau tidak akan terjadi kontradiksi.
Ancaman menurut Muktazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman kepada sebagian hamba-Nya, Dia pasti menyiksanya dan tak mungkin mengingkari janji-Nya. Karena Allah selalu memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut mereka, Allah tak akan memafkan dan memberi ampun siapa saja yang Dia kehendaki.
Adapun yang mereka maksud dengan di antara dua kedudukan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak keluar dari keimanan, tapi tidak terjerumus pada kekufuran. Sedangkan konsep amar makruf nahi mungkar menurut Muktazilah ialah wajib menyuruh orang lain dengan apa yang diperintahkan kepada mereka. Termasuk kandungannya ialah boleh memberontak kepada para pemimpin dengan memeranginya apabila mereka berlaku zalim.
KOREKSI ATAS PANDANGAN ASY’ARI
Beberapa tokoh pengikut dan penerus Asy’ari, banyak yang mengkritik paham Asy’ari. Di antaranya ialah sebagai berikut:
Muhammad Abu Baki al- Baqillani (w. 1013 M), tidak begitu saja menerima ajaran-ajaran Asy’ari. Misalnya tentang sifat Allah dan perbuatan manusia. Menurut al-Baqillani yang tepat bukan sifat Allah, melainkan hal Allah, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Muktazilah. Selanjutnya ia beranggapan bahwa perbuatan manusia bukan semata-mata ciptaan Allah, seperti pendapat Asy’ari. Menurutnya, manusia mempunyai andil yang efektif dalam perwujudan perbuatannya, sementara Allah hanya memberikan potensi dalam diri manusia.
Pengikut Asy’ari lain yang juga menunjukkan penyimpangan adalah Abdul Malik al-Juwaini yang dijuluki Imam al-Haramain (419-478 H). Misalnya tentang anthropomorfisme al-Juwaini beranggapan bahwa yang disebut tangan Allah harus diartikan (ditakwilkan) sebagai kekuasaan Allah. Mata Allah harus dipahami sebagai penglihatan Allah, wajah Allah harus diartikan sebagai wujud Allah, dan seterusnya. Jadi bukan sekadar bila kaifa atau tidak seperti apa pus, sepertidikatakan Asy’ari.
Pengikut Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahli sunnah wal jamaah ialah Imam Al-Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung kembali pada paham-paham Asy’ari. Al-Ghazali meyakini bahwa:
1. Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan
mempunyai wujud di luar zat.
2. Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan.
3. Mengenai perbuatan manusia, Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan
4. Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat.
5. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan (ash-shalah wal ashlah) manusia, tidak wajib memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tak dapat dipikul kepada manusia.
Berkat Al-Ghazali paham Asy’ari dengan sunah wal jamaahnya berhasil berkembang ke mana pun, meski pada masa itu aliran Muktazilah amat kuat di bawah dukungan para khalifah Abasiyah. Sementara itu paham Muktazilah mengalami pasang surut selama masa Daulat Bagdad, tergantung dari kecenderungan paham para khalifah yang berkuasa. Para Ulama yang Berpaham Asy-'ariyah
Di antara para ulama besar dunia yang berpaham akidah ini dan sekaligus juga menjadi tokohnya antara lain:
•Al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M)
•Al-Imam Al-Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210)
•Abu Ishaq Al-Isfirayini (w 418/1027)
•Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani (328-402 H/950-1013 M)
•Abu Ishaq Asy-Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M)
Mereka yang berakidah ini sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah paling dekat di antara yang lain kepada ahlus sunnah wal jamaah. Aliran mereka adalah polarisasi antara wahyu dan filsafat.
Baca Selengkapnya »»  

Monday, October 18, 2010

Pemikiran Ilmu Kalam: Kaum Khawarij

KHAWARIJ
A. Pengertian Khawarij
Secara bahasa kata khawarij berarti orang-orang yang telah keluar. Kata ini dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang telah menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok Mu’awiyyah yang dikomandoi oleh Amr ibn Ash dalam Perang Shiffin ( 37H / 657 ).
Jadi, nama khawarij bukanlah berasal dari kelompok ini. Mereka sendiri lebih suka menamakan diri dengan Syurah atau para penjual, yaitu orang-orang yang menjual (mengorbankan) jiwa raga mereka demi keridhaan Allah, sesuai dengan firman Allah QS. Al-Baqarah : 207. Selain itu, ada juga istilah lain yang dipredikatkan kepada mereka, seperti Haruriah, yang dinisbatkan pada nama desa di Kufah, yaitu Harura, dan Muhakkimah, karena seringnya kelompok ini mendasarkan diri pada kalimat “la hukma illa lillah” (tidak ada hukum selain hukum Allah), atau “la hakama illa Allah” (tidak ada pengantara selain Allah).
Secara historis Khawarij adalah Firqah Bathil yang pertama muncul dalam Islam sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al‑Fatawa,
“Bid’ah yang pertama muncul dalam Islam adalah bid’ah Khawarij.”
Kemudian hadits‑hadits yang berkaitan dengan firaq dan sanadnya benar adalah hadits‑hadits yang berkaitan dengan Khawarij sedang yang berkaitan dcngan Mu’tazilah dan Syi’ah atau yang lainnya hanya terdapat dalam Atsar Sahabat atau hadits lemah, ini menunjukkan begitu besarnya tingkat bahaya Khawarij dan fenomenanya yang sudah ada pada masa Rasulullah saw. Di samping itu Khawarij masih ada sampai sekarang baik secara nama maupun sebutan (laqob), secara nama masih terdapat di daerah Oman dan Afrika Utara sedangkan secara laqob berada di mana‑mana. Hal seperti inilah yang membuat pembahasan tcntang firqah Khawarij begitu sangat pentingnya apalagi buku‑buku yang membahas masalah ini masih sangat sedikit, apalagi Rasulullah saw. menyuruh kita agar berhati‑hati terhadap firqah ini.
B. Awal Mula Munculnya Dasar-Dasar Pemikiran Khawarij
Sebenarnya awal mula kemunculan pemikiran khawarij, bermula pada saat masa Rasulullah SAW.
Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam membagi-bagikan harta rampasan perang di desa Ju’ronah -pasca perang Hunain- beliau memberikan seratus ekor unta kepada Aqra’ bin Habis dan Uyainah bin Harits. Beliau juga memberikan kepada beberapa orang dari tokoh quraisy dan pemuka-pemuka arab lebih banyak dari yang diberikan kepada yang lainnya. Melihat hal ini, seseorang (yang disebut Dzul Khuwaisirah) dengan mata melotot dan urat lehernya menggelembung berkata: “Demi Allah ini adalah pembagian yang tidak adil dan tidak mengharapkan wajah Allah”. Atau dalam riwayat lain dia mengatakan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam: “Berbuat adillah, karena sesungguhnya engkau belum berbuat adil!”.
Sungguh, kalimat tersebut bagaikan petir di siang bolong. Pada masa generasi terbaik dan di hadapan manusia terbaik pula, ada seorang yang berani berbuat lancang dan menuduh bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak berbuat adil. Mendengar ucapan ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan wajah yang memerah bersabda:
“Siapakah yang akan berbuat adil jika Allah dan rasul-Nya tidak berbuat adil? Semoga Allah merahmati Musa. Dia disakiti lebih dari pada ini, namun dia bersabar.” (HR. Bukhari Muslim)
Saat itu Umar bin Khathab radhiallahu ‘anhu meminta izin untuk membunuhnya, namun Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarangnya. Beliau menghabarkan akan munculnya dari turunan orang ini kaum reaksioner (khawarij) sebagaimana disebutkan dalam riwayat berikutnya:
“Sesungguhnya orang ini dan para pengikutnya, salah seorang di antara kalian akan merasa kalah shalatnya dibandingkan dengan shalat mereka; puasanya dengan puasa mereka; mereka keluar dari agama seperti keluarnya anak panah dari buruannya.” (HR. al-Ajurri, Lihat asy-Syari’ah, hal. 33)
Demikianlah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mensinyalir akan munculnya generasi semisal Dzul Khuwaisirah -sang munafiq-. Yaitu suatu kaum yang tidak pernah puas dengan penguasa manapun, menentang penguasanya walaupun sebaik Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Dikatakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa mereka akan keluar dari agama ini seperti keluarnya anak panah dari buruannya. Yaitu masuk dari satu sisi dan keluar dari sisi yang lain dengan tidak terlihat bekas-bekas darah maupun kotorannya, padahal ia telah melewati darah dan kotoran hewan buruan tersebut.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa mereka adalah orang-orang yang bagus bacaan al-Qur’annya, namun ia tidak mengambil faedah dari apa yang mereka baca.
“Sesungguhnya sepeninggalku akan ada dari kaumku, orang yang membaca al-Qur’an tapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka akan keluar dari Islam ini sebagaimana keluarnya anak panah dari buruannya. Kemudian mereka tidak akan kembali padanya. Mereka adalah sejelek-jelek makhluk.” (HR. Muslim)
Dari riwayat ini, kita mendapatkan ciri-ciri dari kaum khawarij, yakni mereka dapat membaca al-Qur’an dengan baik dan indah; tapi tidak memahaminya dengan benar. Atau dapat memahaminya tapi tidak sampai ke dalam hatinya. Mereka berjalan hanya dengan hawa nafsu dan emosinya.
Ciri khas mereka lainnya adalah: “Mereka membunuh kaum muslimin dan membiarkan orang-orang kafir” sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
“Sesungguhnya akan keluar dari keturunan orang ini satu kaum; yang membaca al-Qur’an, namun tidak melewati kerongkongannya. Mereka membunuh kaum muslimin dan membiarkan para penyembah berhala. Mereka akan keluar dari Islam ini sebagaimana keluarnya anak panah dari buruannya. Jika sekiranya aku menemui mereka, pasti aku bunuh mereka seperti terbunuhnya kaum ‘Aad.” (HR. Bukhari Muslim)
Sebagaimana yang telah mereka lakukan terhadap seorang yang shalih dan keluarganya yaitu Abdullah –anak dari shahabat Khabbab bin Art radhiallahu ‘anhu. Mereka membantainya, merobek perut istrinya dan mengeluarkan janinnya. Setelah itu dalam keadaan pedang masih berlumuran darah, mereka mendatangi kebun kurma milik seorang Yahudi. Pemilik kebun ketakutan seraya berkata: “Ambillah seluruhnya apa yang kalian mau!” Pimpinan khawarij itu menjawab dengan arif: “Kami tidak akan mengambilnya kecuali dengan membayar harganya”. (Lihat al-Milal wan Nihal)
Maka kelompok ini sungguh sangat membahayakan kaum muslimin, terlepas dari niat mereka dan kesungguhan mereka dalam beribadah. Mereka menghalalkan darah kaum muslimin dengan kebodohan. Untuk itu mereka tidak segan-segan melakukan teror, pembunuhan, pembantaian dan sejenisnya terhadap kaum muslimin sendiri.
Ciri berikutnya adalah: kebanyakan di antara mereka berusia muda, dan bodoh pemikirannya karena kurangnya kedewasaan mereka. Mereka hanya mengandalkan semangat dan emosinya, tanpa dilandasi oleh ilmu dan pertimbangan yang matang. Sebagaimana yang terdapat dalam riwayat lainnya, ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Akan keluar di akhir zaman, suatu kaum yang masih muda umurnya, bodoh pemikirannya. Mereka berbicara seperti perkataan manusia yang paling baik. Keimanan mereka tidak melewati kerongkongannya, mereka keluar dari agama ini seperti keluarnya anak panah dari buruannya. Di mana saja kalian temui mereka, bunuhlah mereka. Sesungguhnya membunuh mereka akan mendapatkan pahala pada hari kiamat.” (HR. Muslim)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjuluki mereka dengan gelaran yang sangat jelek yaitu “anjing-anjing neraka” sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abi Aufa bahwa dia mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“ Khawarij adalah anjing-anjing neraka. “ (HR. Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Dlilalul Jannah)
C. Sejarah Kelahiran Khawarij
Seperti yang disinggung sebelumnya dalam pendahuluan bahwa Khawarij lahir dari komponen paling berpangaruh dalam khilafah Ali ra. Yaitu dari tubuh militer pimpinan Ali ra. sendiri. Pada saat kondisi politik yang makin tidak terkendali dan dirasa sulit untuk mereda dengan prinsip masing-masing. Maka kubu Mu’awiyah ra. yang merasa akan dikalahkan dalam perang syiffin menawarkan untuk mengakhiri perang saudara itu dengan “Tahkim dibawah Al-Qur’an”.
Semula Ali ra. Tidak menyetujui tawaran ini, dengan prinsip bahwa kakuatan hukum kekhilafahannya sudah jelas dan tidak dapat dipungkiri. Namun sebagian kecil dari kelompok militer pimpinannya memaksa Ali ra. menerima ajakan kubu Mu’awiyah ra. Kelompok ini terbukti dapat mempengaruhi pendirian Ali ra. Bahkan saat keputusan yang diambil Ali ra. Untuk mengutus Abdullah bin Abbas ra. menghadapi utusan kubu lawannya Amar bin al-Ash dalam tahkim, Ali ra. malah mengalah pada nama Abu Musa al-Asy’ary yang diajukan kelompok itu menggantikan Abdullah bin Abbas ra.
Anehnya, kelompok ini yang sebelumnya memaksa Ali ra. untuk menyetujui tawaran kubu Mu’awiyah ra. Untuk mengakhiri perseteruannya dengan jalan Tahkim. Pada akhirnya setelah Tahkim berlalu dengan hasil pengangkatan Mu’awiyah ra. Sebagai khilafah menggantikan Ali ra. Mereka kemudian menilai dengan sepihak bahwa genjatan senjata dengan cara Tahkim tidak dapat dibenarkan dan illegal dalam hukum Islam.
Artinya menurut mereka, semua kelompok bahkan setiap individu yang telah mengikuti proses itu telah melanggar ketentuan syara’, karena telah melanggar prinsip dasar bahwa setiap keputusan berada pada kekuasaan Tuhan (lâ hukma illa lillâh). (Abu Zahrah: 60)
Dan sesuai dengan pokok-pokok pemikiran mereka bahwa setiap yang berdosa maka ia telah kafir, maka mereka menilai bahwa setiap individu yang telah melangar prinsip tersebut telah kafir, termasuk Ali ra. Sehingga Mereka memaksanya untuk bertobat atas dosanya itu sebagaimana mereka telah bertobat karena ikut andil dalam proses Tahkim. (Abu Zahrah: 60)
Demikian watak dasar kelompok ini, yaitu keras kepala dan dikenal kelompok paling keras memegang teguh prinsipnya. Inilah yang sebenarnya menjadi penyabab utama lahirnya kelompok ini (Syalabi: 333). Khawarij adalah kelompok yang didalamnya dibentuk oleh mayoritas orang-orang Arab pedalaman (a’râbu al-bâdiyah). Mereka cenderung primitive, tradisional dan kebanyakan dari golongan ekonomi rendah, namun keadaan ekonomi yang dibawah standar tidak mendorong mereka untuk meningkatkan pendapatan. Ada sifat lain yang sangat kontradiksi dengan sifat sebelumnya, yaitu kesederhanaan dan keikhlasan dalam memperjuangkan prinsip dasar kelompoknya.
Walaupun keikhlasan itu ditutupi keberpihakan dan fanatisme buta. Dengan komposisi seperti itu, kelompok ini cenderung sempit wawasan dan keras pendirian. Prinsip dasar bahwa “tidak ada hukum, kecuali hukum Tuhan” mereka tafsirkan secara dzohir saja. (Abu Zahrah: 63)
Bukan hanya itu, sebenarnya ada “kepentingan lain” yang mendorong dualisme sifat dari kelompok ini. Yaitu; kecemburuan atas kepemimpinan golongan Quraisy. Dan pada saatnya kemudian Khawarij memilih Abdullâh bin Wahab ar-Râsiby yang diluar golongan Quraisy sebagai khalifah. Bahkan al-Yazidiyah salah satu sekte dalam Khawarij, menyatakan bahwa Allah sebenarnya juga mengutus seorang Nabi dari golongan Ajam (diluar golongan Arab) yang kemudian menghapus Syari’at Nabi Muhammad SAW. (Abu Zahrah: 63-64).
Nama khawarij diberikan pada kelompok ini karena mereka dengan sengaja keluar dari barisan Ali ra. dan tidak mendukung barisan Mu’awiyah ra. namun dari mereka menganggap bahwa nama itu berasal dari kata dasar kharaja yang terdapat pada QS: 4, 100. yang merujuk pada seseorang yang keluar dari rumahnya untuk hijrah di jalan Allah dan Rasul-Nya (Nasution: 13). Selanjutnya mereka juga menyebut kelompoknya sebagai Syurah yang berasal dari kata Yasyri (menjual), sebagaimana disebutkan dalam QS: 2, 207. tentang seseorang yang menjual dirinya untuk mendapatkan ridlo Allah (Nasution: 13, Syalabi: 309). Selain itu mereka juga disebut “Haruriyah” yang merujuk pada “Harurah’ sebuah tempat di pinggiran sungai Furat dekat kota Riqqah. Ditempat ini mereka memisahkan diri dari barisan pasukan Ali ra. saat pulang dari perang Syiffin.
Kelompok ini juga dikenal sebagai kelompok “Muhakkimah”. Sebagai kelompok dengan prinsip dasar “lâ hukma illa lillâh”. (Syalabi: 309).
D. Latar Belakang Ekstremitas Khawarij
Seperti yang sudah diungkap di atas, Khawarij memiliki pemikiran dan sikap yag ekstrem, keras, radikal dan cederung kejam. Misalnya mereka menilai ‘Ali ibn Abi Thalib salah karena menyetujui dan kesalahan itu membuat ‘Ali menjadi kafir. Mereka memaksa ‘Ali mengakui kesalahan dan kekufurannya untuk kemudian bertaubat. Begitu ‘Ali menolak pandangan mereka walaupun dengan mengemukakan argumentasi, mereka menyatakkan keluar dari pasukan ‘Ali dan kemudian melakukan pemberontakan dan kekejaman-kekejaman. Yang menjadi sasaran pengkafiran tidak hanya ‘Ali bi Abi Thalib sendiri, tapi juga Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, ‘Amru ibn ‘Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang mendukung mereka. Dalam perkembangan selanjutnya mereka perdebatkan apakah ‘Ali hanya kafir atau musyrik.
Untuk mendukung pandangan mereka baik dalam aspek politik maupun teologi, mereka menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an. Misalnya ; kelompok al-Azariqah, tidak hanya menyatakan ‘Ali kafir, tapi juga mengatakan ayat; Wa min an-nâsi man yu’jibuka qauluhu fi al-hayâh ad-dunya wa yusyhidullah ‘ala mâ fi qalbihi wa huwa aladdu al-khshâm) diturunkan Allah mengenai ‘Ali sedangkan tentang ‘Abdurrahman ibn Muljam yang membunuh ‘Ali Allah menurunkan ayat (wa minannâsi man yasyri nafsahu ibtighâa mardhâtillah). Mereka gampang sekali menggunakan ayat-ayat Al Qur’an untuk menguatkan pendapat-pendapat mereka.
Yang menarik kita teliti adalah, latar belakang apa yang menyebabkan mereka memiliki pandangan seperti itu. Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita perlu melakukan analisis terhadap pengertian istilah Qurrâ’ atau Ahl al– Qurrâ’, sebutan mereka sebelum menjadi Khawarij. Apakakah istilah itu berarti para penghafal Al-Qur’an atau orang orang kampung. Kalau sekiranya yang benar adalah yang pertama maka persoalannya adalah persoalan teologis murni (persoalan intepretasi yang sempit dan picik), tapi kalau yang benar adalah yang kedua persoalannya adalah persoalan sosial politik. Penulis kira inilah kata kunci yang dapat membantu kita memahami latar belakang ekstremitas Khawarij.
Melihat pemahaman Khawarij yang dangkal dan literer terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang mereka jadikan dalil membenarkan pandangan dan sikap politik mereka, maka penulis lebih cenderung mengartikan istilah Qurrâ’ bukan sebagai para penghafal Al-Qur’an, tetapi orang-orang desa. Nourouzzaman Shiddiqi, sejarawan Muslim dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang pernah menulis paper tenang Khawarij waktu studi di McGill University, Canada menyatakan bahwa Ahlu al-Qurrâ’ lebih tepat diartikan sebagai ‘para penetap’ walaupun Ahl al-Qurrâ’ bisa juga berarti para penghafal Al-Qur’an.
Uraian yang panjang lebar dan agak memuaskan tentang pengertian istilah al-Qurrâ’ ditulis oleh Mahayadin Haji Yahaya dalam bukunya Sejarah Awal Perpecahan Umat Islam (11-78 H/632-698 M) yang berasal dari disertasi doktor yang bersangkutan di Exterter University, England dengan judul bahasa Inggris The Origins of The Khawarij. Menurut Yahaya para sejarawan seperti Sayf, at-Thabary dan Ibn ‘Atsam cenderung menafsirkan al-Qurrâ’ sebagai para penghafal Al-Qur’an. Kekeliruan itu mungkin muncul terpegaruh dengan ucapan Sa’idi ibn ’Ash dalam sebuah khutbah di Masjid besar di Kufah yang mengatakan; “Ahabbukum ilayya akramukum li kitâbillah.
Istilah-istilah lain yang dipakai oleh para sejarawan menunjukkan kelompok yang sama yang melakukan pemberontakan di Kufah waktu itu adalah asyrâf, wujûh, sufahâ, rijâl min qurâ’ ahli al-kufah, khyar ahli al-kufah, jama’ah ahli al kufah dan lain-lain yang tidak satu pun yang menunjukkan makna penghafal-penghafal Al-Qur’an. Tetapi yang jelas ialah bahwa al-Qurra’ itu ialah golongan manusia di Kufah, atau sebagian dari golongan asyrâf, orang-orang kenamaan dan pemimpin-pemimpin Kufah yang tinggal atau menguasai kampung-kampung di Irak dan disifatkan sebagai orang-orang yang bodoh. Sebagian dari mereka ini telah disingkirkan dari jabatan-jabatan penting dalam masa pemerintahan Khalifah ‘Utsman.
Sejalan dengan itu Harun Nasution menulis bahwa kaum Khawarij pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Hidup di padang pasir yang tandus membuat mereka bersifat sederhana dalam cara hidup dan pemikiran, tetapi keras hati serta berani, dan bersikap merdeka, mereka tetap bersikap bengis, suka kekerasan dan tak gentar mati. Sebagai orang Badawi mereka tetap jauh dari ilmu pengetahuan. Ajaran-ajaran Islam sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits, mereka artikan menurut lafaznya dan haus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu iman dan paham mereka merupakan iman dan paham orang sederhana dalam pemikiran lagi sempit akal serta fanatik. Iman yang tebal, tetapi sempit, ditambah lagi dengan sikap fanatik ini membuat mereka tidak bisa mentolelir penyimpangan terhadap ajaran Islam menurut paham mereka, walau pun penyimpangan dalam bentuk kecil. Di sinilah letak penjelasannya, bagaimana mudahnya kaum Khawarij terpecah belah menjadi golongan-golongan kecil serta dapat pula dimengerti tentang sikap mereka yang terus menerus mengadakan perlawanan terhadap penguasa-penguasa Islam dan umat Islam yang ada di zaman mereka.
Khawarij tidak hanya mengkafirkan ‘Ali bn Abi Thalib tapi juga Kalifah ‘Utsman ibn ‘Affan mulai tahun ketujuh pemerintahannya. Pengkafiran terhadap ‘Utsman (masalah teologis) juga berlatar belakang politik (kepentingan), tepatnya masalah tanah-tanah Sawad yang luas di wilayah Sasaniyah yang ditinggalkan oleh para pemiliknya. Di sekitar tanah yang ditinggalkannya itu, tulis Shaban, konflik itu terpusatkan. Tanah-tanah itu tidak dibagi-bagi, tetapi dikelola oleh kelompok Qurrâ’, dan penghasilannya dibagi-bagi antara para veteran perang penaklukan terhadap wilayah tersebut. Kelompok Qurrâ’ itu menganggap diri mereka sendiri hampir-hampir seperti pemilik sah atas kekayaan-kekayaan yang sangat besar ini. ‘Utsman tidak berani menentang hak yang dirampas ini secara terbuka, tetapi menggunakan pendekatan secara berangsur-angsur. Antara lain ‘Utsman menyatakan bahwa para veteran yang telah kembali ke Mekah dan Madinah tidak lantas kehilangan hak-hakya atas tanah-tanah Sawad ini. Kelompok Qurrâ’ dalam jawabannya menegaskan bahwa tanpa kehadiran mereka secara berkesinambungan di Iraq kekayaan-kekayaan ini sama sekali tidak akan pernah terkumpulkan, dengan demikian membuktikan bahwa para veteran Kufah tidak memiliki hak lebih besar atas tanah ini. Akibat dari pelaksanaan kebijaksanaan ‘Utsman itu kelompok Qurrâ’ belakangan mengetahui bahwa landasan kekuatan ekonomi mereka sedang dihancurkan karena tanah-tanah mereka dibagi-bagi, tanpa mempertimbangkan hak-hak mereka.
Sebagai manifestasi perlawanan mereka pada ‘Utsman kelompok ini menghalang-halangi kedatangan Sa’id ibn ‘Ash- Gubernur yang ditunjuk oleh ‘Utsman–memasuki Kufah. Mereka memilih Abu Musa al-Asy’ary sebagai Gubernur dan memaksa ‘Utsman mengakui tindakan kekerasan ini.
E. Sifat‑sifat Khawarij
1. Mencela dan Menyesatkan
Orang‑orang Khawarij sangat mudah mencela dan menganggap sesat Muslim lain, bahkan Rasul saw. sendiri dianggap tidak adil dalam pembagian ghanimah. Kalau terhadap Rasul sebagai pemimpin umat berani berkata sekasar itu, apalagi terhadap Muslim yang lainnya, tentu dengan mudahnya mereka menganggap kafir. Mereka mengkafirkan Ali, Muawiyah, dan sahabat yang lain. Fenomena ini sekarang banyak bermunculan. Efek dari mudahnya mereka saling mengkafirkan adalah kelompok mereka mudah pecah disebabkan kesalahan kecil yang mereka perbuat.
2. Buruk Sangka
Fenomena sejarah membuktikan bahwa orang‑orang Khawarij adalah kaum yang paling mudah berburuk sangka. Mereka berburuk sangka kepada Rasulullah saw. bahwa beliau tidak adil dalam pembagian ghanimah, bahkan menuduh Rasulullah saw. tidak mencari ridha Allah. Mereka tidak cukup sabar menanyakan cara dan tujuan Rasulullah saw. melebihkan pembesar‑pembesar dibanding yang lainnya. Padahal itu dilakukan Rasulullah saw. dalam rangka dakwah dan ta’liful qulub. Mereka juga menuduh Utsman sebagai nepotis dan menuduh Ali tidak mempunyai visi kepemimpinan yang jelas.
3. Berlebih‑lebihan dalam ibadah
Ini dibuktikan oleh kesaksian Ibnu Abbas. Mereka adalah orang yang sangat sederhana, pakaian mereka sampai terlihat serat‑seratnya karena cuma satu dan sering dicuci, muka mereka pucat karena jarang tidur malam, jidat mereka hitam karena lama dalam sujud, tangan dan kaki mereka ‘kapalan’. Mereka disebut quro’ karena bacaan Al-Qur’annya bagus dan lama. Bahkan Rasulullah saw. sendiri membandingkan ibadah orang‑orang Khawarij dengan sahabat yang lainnya, termasuk Umar bin Khattab, masih tidak ada apa‑apanya, apalagi kalau dibandingkan dengan kita. Ini menunjukkan betapa sangat berlebih‑lebihannya ibadah mereka. Karena itu mereka menganggap ibadah kaum yang lain belum ada apa-apanya.
4. Keras terhadap sesama Muslim dan memudahkan yang lainnya
Hadits Rasulullah saw. menyebutkan bahwa mereka mudah membunuh orang Islam, tetapi membiarkan penyembah berhala. Ibnu Abdil Bar meriwayatkan, “Ketika Abdullah bin Habbab bin Al‑Art berjalan dengan isterinya bertemu dengan orang Khawarij dan mereka meminta kepada Abdullah untuk menyampaikan hadits‑hadits yang didengar dari Rasulullah saw., kemudian Abdullah menyampaikan hadits tentang terjadinya fitnah,
“Yang duduk pada waktu itu lebih baik dari yang berdiri, yang berdiri lebih baik dari yang berjalan….”
Mereka bertanya, “Apakah Anda mendengar ini dari Rasulullah?” “Ya,” jawab Abdullah. Maka serta-merta mereka langsung memenggal Abdullah. Dan isterinya dibunuh dengan mengeluarkan janin dari perutnya.
Di sisi lain tatkala mereka di kebun kurma dan ada satu biji kurma yang jatuh kemudian salah seorang dari mereka memakannya, tetapi setelah yang lain mengingatkan bahwa kurma itu bukan miliknya, langsung saja orang itu memuntahkan kurma yang dimakannya. Dan ketika mereka di Kuffah melihat babi langsung mereka bunuh, tapi setelah diingatkan bahwa babi itu milik orang kafir ahli dzimmah, langsung saja yang membunuh babi tadi mencari orang yang mempunyai babi tersebut, meminta maaf dan membayar tebusan.
5. Sedikit pengalamannya
Hal ini digambarkan dalam hadits bahwa orang‑orang Khawarij umurnya masih muda‑muda yang hanya mempunyai bekal semangat.
6. Sedikit pemahamannya
Disebutkan dalam hadits dengan sebutan Sufahaa-ul ahlaam (orang bodoh), berdakwah pada manusia untuk mengamalkan Al‑Qur’an dan kembali padanya, tetapi mereka sendiri tidak mengamalkannya dan tidak memahaminya. Merasa bahwa Al‑Qur’an akan menolongnya di akhirat, padahal sebaliknya akan membahayakannya.
7. Nilai Khawarij
Orang‑orang Khawarij keluar dari Islam sebagaimana yang disebutkan Rasulullah saw., “Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah keluar dari busurnya.”
8. Fenomena Khawarij
Mereka akan senantiasa ada sampai hari kiamat. “Mereka akan senantiasa keluar sampai yang terakhir keluar bersama Al‑Masih Ad‑Dajjal”
9. Kedudukan Khawarij
Kedudukan mereka sangat rendah. Di dunia disebut sebagai seburuk-buruk makhluk dan di akhirat disebut sebagai anjing neraka.
10. Sikap terhadap Khawarij
Rasulullah saw. menyuruh kita untuk membunuh jika menjumpai mereka. “Jika engkau bertemu dengan mereka, maka bunuhlah mereka.”
Src: kalamstai.blogspot. com
Baca Selengkapnya »»  

Wednesday, October 13, 2010

Download Kitab Al-Hikam dan Biografi Penulisnya (Ibnu Athaillah)

Beliau adalah seorang sufi yang mempunyai nama lengkap Ahmad bin Muhammad bin Abdul Kari bin Athaillah. Sedangkan nama Askandari dibelakang namanya adalah nama julukan karena beliau tokoh sufi yang berasal dari Iskandariyah.

Beliau dilahirkan di Iskandariyah pada tahun 658 H. dan dibesarkan di lingkungan keluarga yang taat beragama.

Kehidupan Ibnu Athaillah.
Sebagai anak yang hidup dan dibesarkan dilingkungan keluarga yang taat menjalankan agama, tentunya ilmu yang pertama dipelajari dan di dalami adalah dasar-dasar ilmu agama, baik itu yang diberikan oleh orang tuanya maupun yang diberikan neneknya, karena neneknya juga seorang tokoh sufi dari Iskadariyah. Diantara ilmu-ilmu agama yang pernah dipelajari, seperti ilmu Fiqh, Tafsir, Hadist, Tauhid dan ilmu alat lainnya.

Dengan dimilikinya dasar-dasar ilmu agama tersebut, membuat dirinya terlalu fanatic terhadap ilmu yang pernah dipelajari tersebut dan menolak terhadap ilmu tasawuf, beliau terlalu fanatic terhadap ilmu fiqh. Tetapi setelah beliau mengamalkan ilmu yang pernah dipelajari dan banyak bergaul dengan para ulama dan tokoh-tokoh sufi, akhirnya beliau mulai tertarik kepada ajaran tasawuf dan sekaligus mempelajarinya.

Ajaran tasawuf yang tertanam pada diri Ibnu Athaillah banyak diperoleh setelah beliau mengamalkan ilmu agama yang dimilikinya, dengan seringnya bertemu dengan para sufi yang pada akhirnya dapat merubah pola hidupnya dan mengikuti kehidupan para sufi, diantara guru-gurunya adalah Syekh Abul Abbas al Marsi, Nadruddin al Munir, Syarafuddin al Dimyati, Al Muhyil al Mazani, Syamsuddin al Asfaham.

Setelah beliau mempunyai dasar agama yang kuat dan sudah memperoleh ajaran tasawuf dari para gurunya tersebut, kemudian beliau pindah ke kairo Mesir dan mengajar tasawuf-tasawuf kepada murid-muridnya di Universitas Al Azhar dan diantara murid-muridnya ada yang menjadi ulama terkenal seperti Imam Taqiyyuddin al Subki, Abu Abbas Ahmad bin Malik dan Daud bin Bahla.

Pokok-Pokok Pikiran Ibnu Athaillah.
Sebagai seorang sufi yang semula membenci terhadap ajaran tasawuf, ada beberapa pokok-pokok pikiran yang dikembangkan oleh Ibnu Athaillah diantaranya adalah :
1.Konsep Tasawuf yang dipakai oleh Ibnu Athaillah banyak mengambil dari ajaran Sazaliyah yang terhimpun dalam 5 azas antara lain :
a.Taqwa kepada Allah secara lahir batin.
b.Mengikuti As Sunnah dalam perkataan dan perbuatan.
c.Menolak kekuasaan makhluk dalam penciptaan dan pengaturan.
d.Ridha kepada Allah baik dalam keadaan sedikit maupun banyak.
e.Selalu ingat dan bersama Allah baik dalam keadaan senang maupun susah.
2.Ajaran pokok tasawuf Ibnu Athaillah adalah :
a.Peniadaan kehendak disbanding kehendak Tuhan.
b.Pengaturan manusia disbanding kehendak Tuhan.
c.Pengaturan manusia disbanding dengan pengaturan Allah SWT.
Untuk menegakkan adab sufi dan kehalusan akal budi kepada Allah, maka hanya kehendak dan daya Tuhanlah yang ditegakkan dalam setiap pembicaraan tasawuf.

Karya-Karya ibnu Athaillah.
Selama hidupnya ada beberapa karya tulis yang di hasilkan oleh Ibnu Athaillah, antara lain :
1.Al Hikam, karya ini adalah yang paling terkenal yang pernah ditulis oleh Ibnu Athaillah, karena kitab itu pernah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa antara lain Turki, Spanyol, Inggris, Melayu, Urdu, dan juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Di samping kitab tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, kitab tersebut juga ditulis dengan bahasa yang amat sederhana dan memuat 42 buah kalimat yang mengandung hikmah sufi.
link download : http://www.4shared.com/file/64953703/2c69988/Al_Hikam__Ibnu_Athailah_.html?s=1
2.Al Tanwir Filsafat al Tadbir, kitab ini pernah dicetak beberpa kali, karena kitab ini member petunjuk-petunjuk kepada mereka yang ingin selalu bersama Allah dan hal-hal yang mengganggu.
3.Lathaif al Mina Fi Manakhibal al Syekh Abi al Abbas al Marsi wa Salkhlii al Sazali, kitab ini menguraikan tentang sejarah, asal-usul para pemimpin dan ajaran-ajaran tarekat Sazaliyah yaitu Syekh Abul Abbas al Marsi dan Abu Hasan al Sazali.
4.Tajul Arus al Hawi Litahzibin Nufus, kitab ini menguraikan berbagai ajaran dan penjelasan yang berkenaan dengan kehidupan sufi.
5.Al Qasdul Mujarrad Fi Ma’rifat al Ism al Mufrad, kitab ini menguraikan tentang Tuhan, sifat, asma, af’alnya dan cara pencapaian ma’rifat.
6.Miftahul Falah Wa Misbahul Arwah, kitab ini menguraikan pokok-pokok ajaran tentang riyadhah dan mujahadah dalam dzikir, uzlah, khalwat dan sebagainya.

Wafatnya Ibnu Athaillah.
Beliau meninggal dunia di Kairo Mesir pada tahun 709 H dan dimakamkan di kaki bukit Mukattam.
Baca Selengkapnya »»  

Dialog Allamah Ibn Athaillah dengan Allamah Ibnu Taymiyah

Siapa saja yang membangun keyakinannya semata-mata berdasarkan bukti-bukti yang tampak dan argumen deduktif, maka ia membangun keyakinan dengan dasar yang tak bisa diandalkan. Karena ia akan selalu dipengaruhi oleh sangahan-sangahan balik yang konstan. Keyakinan bukan berasal dari alasan logis melainkan tercurah dari lubuk hati.
(Ibn Arabi)

Bismillahi ar rahmani ar rahiim
Abu Fadl Ibn Athaillah Al Sakandari (wafat 709), salah seorang imam sufi terkemuka yang juga dikenal sebagai seorang muhaddits, muballigh sekaligus ahli fiqih Maliki, adalah penulsi karya-karya berikut: Al Hikam, Miftah ul Falah, Al Qasdul al Mujarrad fi Makrifat al ism al-Mufrad, Taj al-Arus al-Hawi li tadhhib al-nufus, Unwan al-Taufiq fi al Adad al-Thariq, sebuah biografi: Al-Lataif fi manaqib Abi al Abbas al Mursi wa sayykhihi Abi al Hasan, dan lain-lain. Beliau adalah murid Abu al Abbas Al-Musrsi (wafat 686) dan generasi penerus kedua dari pendiri tarekat Sadziliyah: Imam Abu Al Hasan Al Sadzili.
Ibn Athaillah adalah salah seorang yang membantah Ibn Taymiyah atas serangannya yang berlebihan terhadap kaum sufi yang tidak sefaham dengannya. Ibn Athaillah tak pernah menyebut Ibn Taymiyah dalam setiap karyanya, namun jelaslah bahwa yang disinggungnya adalah Ibn Taymiyah saat ia mengatakan dalam Lataif: sebagai “cendekiawan ilmu lahiriyah”.1 Halaman berikut ini merupakan terjemahan Inggris pertama atas dialog bersejarah antara kedua tokoh tersebut.
Naskah Dialog :
Dari Usul al-Wusul karya Muhammad Zaki Ibrahim Ibn Katsir, Ibn Al Athir, dan penulis biografi serta kamus biografi, kami memperoleh naskah dialog bersejarah yang otentik. Naskah tersebut memberikan ilham tentang etika berdebat di antara kaum terpelajar. Di samping itu, ia juga merekam kontroversi antara pribadi yang bepengaruh dalam tsawuf: Syaikh Ahmad Ibn Athaillah Al Sakandari, dan tokoh yang tak kalah pentingnya dalam gerakan “Salafi”: Syaikh Ahmad Ibn Abd Al Halim Ibn Taymiyah selama era Mamluk di Mesir yang berada dibawah pemerintahan Sulthan Muhammad Ibn Qalawun (Al Malik Al Nasir).
Kesaksian Ibn Taymiyah kepada Ibn Athaillah
Syaikh Ibn Taymiyah ditahan di Alexandria. Ketika sultan memberikan ampunan, ia kembali ke Kairo. Menjelang malam, ia menuju masjid Al Ahzar untuk sholat maghrib yang diimami Syaikh ibn Athaillah. Selepas shalat, Ibn Athailah terkejut menemukan Ibn Taymiyah sedang berdoa dibelakangnya. Dengan senyuman, sang syaikh sufi menyambut ramah kedatangan Ibn Taymiyah di Kairo seraya berkata: Assalamualaykum, selanjutnya ia memulai pembicaraan dengan tamu cendekianya ini.
Ibn Athaillah: “Biasanya saya sholat di masjid Imam Husein dan sholat Isya di sini. Tapi lihatlah bagaimana ketentuan Allah berlaku! Allah menakdirkan sayalah orang pertama yang harus menyambut anda (setelah kepulangan anda ke Kairo). Ungkapkanlah kepadaku wahai faqih, apakah anda menyalahkanku atas apa yang telah terjadi?”
Ibn Taymiyah: “Aku tahu, anda tidak bermaksud buruk terhadapku, tapi perbedaan pandangan diantara kita tetap ada. Sejak hari ini, dalam kasus apapun, aku tidak mempersalahkan dan membebaskan dari kesalahan, siapapun yang berbuat buruk terhadapku”
Ibn Athaillah: Apa yang anda ketahui tentang aku, syaikh Ibn Taymiyah?
Ibn Taymiyah : Aku tahu anda adalah seorang yg saleh, berpengetahuan luas, dan senantiasa berbicara benar dan tulus. Aku bersumpah tidak ada orang selain anda, baik di Mesir maupun Syria yang lebih mencintai Allah ataupun mampu meniadakan diri di (hadapan) Allah atau lebih patuh atas perintahNya dan menjauhi laranganNya.
Tapi bagaimanapun juga kita memiliki perbedaan pandangan. Apa yang anda ketahui tentang saya? Apakah anda atau saya sesat dengan menolak kebenaran (praktik) meminta bantuan seseorang untuk memohon pertolongan Allah (istighatsah)?
Ibn Athaillah: Tentu saja, rekanku, anda tahu bahwa istighatsah atau memohon pertolongan sama dengan tawasul atau mengambil wasilah (perantara) dan meminta syafaat; dan bahwa Rasulullah saw, adalah seorang yang kita harapkan bantuannya karena beliaulah perantara kita dan yang syafaatnya kita harapkan.
Ibn Taymiyah: Mengenai hal ini saya berpegang pada sunnah rasul yang ditetapkan dalam syariat. Dalam hadits berbunyi sebagai: Aku telah dianugerahkan kekuatan syafaat. Dalam ayat al Qur’an juga disebutkan: “Mudah-mudahan Allah akan menaikkan kamu (wahai Nabi) ke tempat yang terpuji (q.s. Al Isra : 79). Yang dimaksud dengan tempat terpuji adalah syafaat. Lebih jauh lagi, saat ibunda khalifah Ali ra wafat, Rasulullah berdoa pada Allah di kuburnya: “Ya Allah Yang Maha Hidup dan Tak pernah mati, Yang Menghidupkan dan Mematikan, ampuni dosa-dosa ibunda saya Fatimah binti Asad, lapangkan kubur yang akan dimasukinya dengan syafaatku, utusanMu, dan para nabi sebelumku. Karena Engkaulah Yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun”.
Inilah syafaat yang dimiliki rasulullah saw. Sementara mencari pertolongan dari selain Allah, merupakan suatu bentuk kemusyrikan; Rasulullah saw sendiri melarang sepupunya, Abdullah bin Abbas, memohon pertolongan dari selain Allah.
Ibn Athaillah : Semoga Allah mengaruniakanmu keberhasilan, wahai faqih! Maksud dari saran Rasulullah saw kepada sepupunya Ibn Abbas, adalah agar ia mendekatkan diri kepada Allah tidak melalui kekerabatannya dengan rasul melainkan dengan ilmu pengetahuan. Sedangkan mengenai pemahaman anda tentang istighosah sebagai mencari bantuan kepada selain Allah, yang termasuk perbuatan musyrik, saya ingin bertanya kepada anda,” Adakah muslim yang beriman pada Allah dan rasulNya yang berpendapat ada selain Allah yang memiliki kekuasaaan atas segala kejadian dan mampu menjalankan apa yang telah ditetapkanNya berkenaan dengan dirinya sendiri?”
” Adakah mukmin sejati yang meyakini ada yang dapat memberikan pahala atas kebaikan dan menghukum atas perbuatan buruk, selain dari Allah? Disamping itu, seharusnya kita sadar bahwa ada berbagai ekspresi yang tak bisa dimaknai sebatas harfiah belaka. Ini bukan saja dikhawatirkan akan membawa kepada kemusyrikan, tapi juga untuk mencegah sarana kemusyrikan. Sebab, siapapun yang meminta pertolongan Rasul berarti mengharapkan anugerah syafaat yang dimiliknya dari Allah, sebagaimana jika anda mengatakan: “Makanan ini memuaskan seleraku”. Apakah dengan demikian makanan itu sendiri yang memuaskan selera anda? Ataukah disebabkan Allah yang memberikan kepuasan melalui makanan?
Sedangkan pernyataan anda bahwa Allah melarang muslim untuk mendatangi seseorang selain DiriNya guna mendapat pertolongan, pernahkah anda melihat seorang muslim memohon pertolongan kepada selain Allah? Ayat Al quran yang anda rujuk, berkenaan dengan kaum musyrikin dan mereka yang memohon pada dewa dan berpaling dari Allah. Sedangkan satu-satunya jalan bagi kaum muslim yang meminta pertolongan rasul adalah dalam rangaka bertawasul atau mengambil perantara, atas keutamaan (hak) rasul yang diterimanya dari Allah (bihaqqihi inda Allah) dan tashaffu atau memohon bantuan dengan syafaat yang telah Allah anugerahkan kepada rasulNya.
Sementara itu, jika anda berpendapat bahwa istighosah atau memohon pertolongan itu dilarang syariat karena mengarah pada kemusyrikan, maka kita seharusnya mengharamkan anggur karena dapat dijadikan minuman keras, dan mengebiri laki-laki yang tidak menikah untuk mencegah zina.
(Kedua syaikh tertawa atas komentar terakhir ini).
Lalu Ibn Athaillah melanjutkan: “Saya kenal betul dengan segala inklusifitas dan gambaran mengenai sekolah fiqih yang didirikan oleh syaikh anda, Imam Ahmad, dan saya tahu betapa luasnya teori fiqih serta mendalamnya “prinsip-prinsip agar terhindar dari godaan syaitan” yang anda miliki, sebagaimana juga tanggung jawab moral yang anda pikul selaku seorang ahli fiqih.
Namun saya juga menyadari bahwa anda dituntut menelisik di balik kata-kata untuk menemukan makna yang seringkali terselubung dibalik kondisi harfiahnya. Bagi sufi, makna laksana ruh, sementara kata-kata adalah jasadnya. Anda harus menembus ke dalam jasad fisik ini untuk meraih hakikat yang mendalam. Kini anda telah memperoleh dasar bagi pernyataan anda terhadap karya Ibn Arabi, Fususul Hikam. Naskah tersebut telah dikotori oleh musuhnya bukan saja dengan kata-kata yang tak pernah diucapkannya, juga pernyataan-pernyataan yang tidak dimaksudkannya (memberikan contoh tokoh islam).
Ketika syaikh al islam Al Izz ibn Abd Salam memahami apa yang sebenarnya diucapan dan dianalisa oleh Ibn Arabi, menangkap dan mengerti makna sebenarnya dibalik ungkapan simbolisnya, ia segera memohon ampun kepada Allah swt atas pendapatnya sebelumnya dan menokohkan Muhyiddin Ibn Arabi sebagai Imam Islam.
Sedangkan mengenai pernyataan al Syadzili yang memojokkan Ibn Arabi, perlu anda ketahui, ucapan tersebut tidak keluar dari mulutnya, melainkan dari salah seorang murid Sadziliyah. Lebih jauh lagi, pernyataan itu dikeluarkan saat para murid membicarakan sebagian pengikut Sadziliyah. Dengan demikian, pernyataan itu diambil dalam konteks yang tak pernah dimaksudkan oleh sang pembicaranya sendiri. “Apa pendapat anda mengenai khalifah Sayyidina Ali bin Abi Thalib?”
Ibn Taymiyah: Dalam salah satu haditsnya, rasul saw bersabda: “Saya adalah kota ilmu dan Ali lah pintunya”. Sayyidina Ali adalah merupakan seorang mujahid yang tak pernah keluar dari pertempuran kecuali dengan membawa kemenangan. Siapa lagi ulama atau fuqaha sesudahnya yang mampu berjuang demi Allah menggunakan lidah, pena dan pedang sekaligus? Dialah sahabat rasul yang paling sempurna-semoga Allah membalas kebaikannya. Ucapannya bagaikan cahaya lampu yang menerangi sepanjang hidupku setelah al quran dan sunnah. Duhai! Seseorang yang meski sedikit perbekalannya namun panjang perjuangannya.
Ibn Athaillah: Sekarang, apakah Imam Ali ra meminta agar orang-orang berpihak padanya dalam suatu faksi? Sementara faksi ini mengklaim bahwa malaikat jibril melakukan kesalahan dengan menyampaikan wahyu kepada Muhammad saw, bukannya kepada Ali! Atau pernahkah ia meminta mereka untuk menyatakan bahwa Allah menitis ke dalam tubuhnya dan sang imam menjadi tuhan? Ataukah ia tidak menentang dan memberantas mereka dengan memberikan fatwa (ketentuan hukum) bahwa mereka harus dibunuh dimanapun mereka ditemukan?
Ibn Tayniyah: Berdasarkan fatwa ini saya memerangi mereka di pegunungan Syria selama lebih dari 10 tahun.
Ibn Athaillah: Dan Imam Ahmad- semoga Allah meridoinya-mempertanyakan perbuatan sebagian pengikutnya yang berpatroli, memecahkan tong-tong anggur (di toko-toko penganut kristen atau dimanapun mereka temukan), menumpahkan isinya di lantai, memukuli gadis para penyanyi, dan menyerang msayarakat di jalan.
Meskipun sang Imam tak memberikan fatwa bahwa mereka harus mengecam dan menghardik orang-orang tersebut. Konsekuensinya para pengikutnya ini dicambuk, dilempar ke penjara dan diarak di punggung keledai dengan menghadap ekornya. Apakah Imam Ahmad bertanggung jawab atas perbuatan buruk yang kini kembali dilakukan pengikut Hanbali, dengan dalih melarang benda atau hal-hal yang diharamkan?
Dengan demikian, Syaikh Muhyidin Ibn Arabi tidak bersalah atas pelanggaran yang dilakukan para pengikutnya yang melepaskan diri dari ketentuan hukum dan moral yang telah ditetapkan agama serta melakukan pebuatan yang dilarang agama. Apakah anda tidak memahami hal ini?
Ibn Taymiyah: “Tapi bagaimana pendirian mereka di hadapan Allah? Di antara kalian, para sufi, ada yang menegaskan bahwa ketika Rasulullah saw memberitakan khabar gembira pada kaum miskin bahwa mereka akan memasuki surga sebelum kaum kaya, selanjutnya kaum miskin tersebut tenggelam dalam luapan kegembiraan dan mulai merobek-robek jubah mereka; saat itu malaikat jibril turun dari surga dan mewahyukan kepada rasul bahwa Allah akan memilih di antara jubah-jubah yang robek itu; selanjutnya malaikat jibril mengangkat satu dari jubah dan menggantungkannya di singgasana Allah. berdasarkan ini, kaum sufi mengenakan jubah kasar dan menyebut dirinya fuqara atau kaum “papa”.
Ibn Athaillah: “Tidak semua sufi mengenakan jubah dan pakaian kasar. Lihatlah apa yang saya kenakan; apakah anda tidak setuju dengan penampilan saya?
Ibn Taymiyah: “Tetapi anda adalah ulama syariat dan mengajar di Al Ahzar.”
Ibn Athaillah: “Al Ghazali adalah seorang imam syariat maupun tasawuf. Ia mengamalkan fiqih, sunnah, dan syariat dengan semangat seorang sufi. Dan dengan cara ini, ia mampu menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama. Kita tahu bahwa dalam tasawuf, noda tidak memiliki tempat dalam agama dan bahwa kesucian merupakan ciri dari kebenaran. Sufi yang tulus dan sejati harus menyuburkan hatinya dengan kebenaran yang ditanamkan ahli sunnah.
Dua abad yang lalu muncul fenomena sufi gadungan yang anda sendiri telah mengecam dan menolaknya. Dimana sebagian orang mengurangi kewajiban beribadah dan peraturan keagamaan, melonggarkan berpuasa dan melecehkan pengamalan sholat wajib lima kali sehari. Ditunggangi kemalasan dan ketidakpedulian, mereka telah mengklaim telah bebas dari belenggu kewajiban beribadah. Begitu brutalnya tindakan mereka hingga Imam Qusyairi sendiri mengeluarkan kecaman dalam bukunya ar Risalah ( Risalatul Qusyairiyah ).
Di sini, ia juga menerangkan secara rinci jalan yang benar menuju Allah, yakni berpegang teguh pada Al Quran dan Sunnah. Imam tasawuf juga berkeinginan mengantarkan manusia pada kebenaran sejati, yang tidak hanya diperoleh melalui bukti rasional yang dapat diterima akal manusia yang dapat membedakan yang benar dan salah, melainkan juga melalui penyucian hati dan pelenyapan ego yang dapat dicapai dengan mengamalkan laku spiritual.
Kelompok diatas selanjutnya tersingkir lantaran sebagai hamba Allah sejati, seseorang tidak akan menyibukkan diriya kecuali demi kecintaannya pada Allah dan rasulNYA. Inilah posisi mulia yang menyebabkan seorang menjadi hamba yang shaleh, sehat dan sentosa. Inilah jalan guna membersihkan manusia dari hal-hal yang dapat menodai manusia, semacam cinta harta, dan ambisi akan kedudukan tertentu.
Meskipun demikian, kita harus berusaha di jalan Allah agar memperoleh ketentraman beribadah. Sahabatku yang cendekia, menerjemahkan naskah secara harfiah terkadang menyebabkan kekeliruan. Penafsiran harfiahlah yang mendasari penilaian anda terhadap Ibn Arabi, salah seorang imam kami yang terkenal akan kesalehannya. Anda tentunya mengerti bahwa Ibn Arabi menulis dengan gaya simbolis; sedangkan para sufi adalah orang-orang ahli dalam menggunakan bahasa simbolis yang mengandung makna lebih dalam dan gaya hiperbola yang menunjukkan tingginya kepekaan spiritual serta kata-kata yang menghantarkan rahasia mengenai fenomena yang tak tampak.
Ibn Taymiyah: “Argumentasi tersebut justru ditujukan untuk anda. Karena saat Imam al-Qusyairi melihat pengikutnya melenceng dari jalan Allah, ia segera mengambil langkah untuk membenahi mereka. Sementara apa yang dilakukan para syaikh sufi sekarang? Saya meminta para sufi untuk mengikuti jalur sunnah dari para leluhur kami (salafi) yang saleh dan terkemuka: para sahabat yang zuhud, generasi sebelum mereka dan generasi sesudahnya yang mengikuti langkah mereka.
Siapapun yang menempuh jalan ini, saya berikan penghargaan setinggi-tingginya dan menempatkan sebagai imam agama. Namun bagi mereka yang melakukan pembaruan yang tidak berdasar dan menyisipkan gagasan kemusyrikan seperti filososf Yunani dan pengikut Budha, atau yang beranggapan bahwa manusia menempati Allah (hulul) atau menyatu denganNya (ittihad), atau teori yang menyatakan bahwa seluruh penampakan adalah satu adanya/kesatuan wujud (wahdatul wujud) ataupun hal-hal lain yang diperintahkan syaikh anda: semuanya jelas perilaku ateis dan kafir”.
Ibn Athaillah: “Ibn Arabi adalah salah seorang ulama terhebat yang mengenyam pendidikan di Dawud al Zahiri seperti Ibn Hazm al Andalusi, seorang yang pahamnya selaras dengan metodologi anda tentang hukum islam, wahai penganut Hanbali! Tetapi meskipun Ibn Arabi seorabg Zahiri (menerjemahkan hukum islam secara lahiriah), metode yang ia terapkan untuk memahami hakekat adalah dengan menelisik apa yang tersembunyi, mencari makna spiritual (thariq al bathin), guna mensucikan bathin (thathhir al bathin).
Meskipun demikian tidak seluruh pengikut mengartikan sama sama apa-apa yang tersembunyi. Agara anda tidak keliru atau lupa, ulangilah bacaan anda mengenai Ibn Arabi dengan pemahaman baru akan simbol-simbol dan gagasannya. Anda akan menemukannya sangat mirip dengan al-Qusyairi. Ia telah menempuh jalan tasawuf di bawah payung al-quran dan sunnah, sama seperti hujjatul Islam Al Ghazali, yang mengusung perdebatan mengenai perbedaan mendasar mengenai iman dan isu-isu ibadah namun menilai usaha ini kurang menguntungkan dan berfaedah.
Ia mengajak orang untuk memahami bahwa mencintai Allah adalah cara yang patut ditempuh seorang hamba Allah berdasarkan keyakinan. Apakah anda setuju wahai faqih? Atau anda lebih suka melihat perselisihan di antara para ulama? Imam Malik ra. telah mengingatkan mengenai perselisihan semacam ini dan memberikan nasehat: Setiap kali seseorang berdebat mengenai iman, maka kepercayaannya akan berkurang.”
Sejalan dengan ucapan itu, Al Ghazali berpendapat: Cara tercepat untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah melalui hati, bukan jasad. Bukan berarti hati dalam bentuk fisik yang dapat melihat, mendengar atau merasakan secara gamblang. Melainkan, dengan menyimpan dalam benak, rahasia terdalam dari Allah Yang Maha Agung dan Besar, yang tidak dapat dilihat atau diraba.
Sesungguhnya ahli sunnahlah yang menobatkan syaikh sufi, Imam Al-Ghazali, sebagai Hujjatul Islam, dan tak seorangpun yang menyangkal pandangannya bahkan seorang cendekia secara berlebihan berpendapat bahwa Ihya Ulumuddin nyaris setara dengan Al Quran. Dalam pandangan Ibn Arabi dan Ibn Al Farid, taklif atau kepatuhan beragama laksana ibadah yang mihrab atau sajadahnya menandai aspek bathin, bukan semata-mata ritual lahiriah saja.
Karena apalah arti duduk berdirinya anda dalam sholat sementara hati anda dikuasai selain Allah. Allah memuji hambaNya dalam Al Quran:”(Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam sholatnya”; dan Ia mengutuk dalam firmanNya: “(Yaitu) orang-orang yang lalai dalam sholatnya”. Inilah yang dimaksudkan oleh Ibn Arabi saat mengatakan: “Ibadah bagaikan mihrab bagi hati, yakni aspek bathin, bukan lahirnya”.
Seorang muslim takkan bisa mencapai keyakinan mengenai isi Al Quran, baik dengan ilmu atau pembuktian itu sendiri, hingga ia membersihkan hatinya dari segala yang dapat mengalihkan dan berusaha untuk khusyuk. Dengan demikian Allah akan mencurahkan ilmu ke dalam hatinya, dan dari sana akan muncul semangatnya. Sufi sejati tak mencukupi dirinya dengan meminta sedekah.
Seseorang yang tulus adalah ia yang menyuburkan diri di (hadapan) Allah dengan mematuhiNya. Barangkali yang menyebabkan para ahli fiqih mengecam Ibn Arabi adalah karena kritik beliau terhdap keasyikan mereka dalam berargumentasi dan berdebat seputar masalah iman, hukum kasus-kasus yang terjadi (aktual) dan kasus-kasus yang baru dihipotesakan (dibayangkan padahal belum terjadi).
Ibn Arabi mengkritik demikian karena ia melihat betapa sering hal tersebut dapat mengalihkan mereka dari kejernihan hati. Ia menjuluki mereka sebagai “ahli fiqih basa-basi wanita”. Semoga Allah mengeluarkanmu karena telah menjadi salah satu dari mereka! Pernahkan anda membaca pernyataan Ibn Arabi bahwa:”Siapa saja yang membangun keyakinannya semata-mata berdasarkan bukti-bukti yang tampak dan argumen deduktif, maka ia membangun keyakinan dengan dasar yang tak bisa diandalkan. Karena ia akan selalu dipengaruhi oleh sangahan-sangahan balik yang konstan. Keyakinan bukan berasal dari alasan logis melainkan tercurah dari lubuk hati.” “Adakah pernyataan yang seindah ini?”
Ibn Taymiyah : “Anda telah berbicara dengan baik, andaikan saja gurumu seperti yang anda katakan, maka ia sangat jauh dari kafir. Tapi menurutku apa yang telah ia ucapkan tidak mendukung pandangan yang telah anda kemukakan.”
*Diterjemahkan dari On Tasawuf Ibn Atha’illah Al-Sakandari: “The Debate with Ibn Taymiyah, dalam buku karya Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani’s The repudiation of “Salafi” Innovations (Kazi, 1996) h. 367-379.
Baca Selengkapnya »»  

Wednesday, August 11, 2010

REPUBLIK ISLAM IRAN

REPUBLIK ISLAM IRAN

NEGARA SYIAH MODERN

oleh: Candiki Repantu


IRAN DALAM LINTASAN SEJARAH[1]

Iran dahulu dikenal dengan sebutan Persia, merupakan negara yang memiliki sejarah panjang dalam peradaban manusia, bahkan dianggap sebagai salah satu dari 15 negara yang menjadi tempat lahir dan pembentuk kebudayaan manusia. Wilayahnya yang terdiri atas gunung-gunung, lembah dan padang pasir tandus itu, telah dihuni oleh masyarakat manusia lebih dari 100 ribu tahun silam. Namun, sejarah Persia umumnya dimulai dari migrasinya suku bangsa Media[2] dan Persia dari kawasan Asia Tengah, yang datang dan menetap di Persia (Iran) pada abad ke-16 SM.

Terjadi saling perebutan kekuasaan, dan suku Media lebih awal berkuasa (728-550 SM), sampai kemudian bangsa Persia berkuasa di bawah kepemimpinan Raja Cyrus Agung.[3] Pada saat itu, Persia menjadi sebuah wilayah kerajaan besar meliputi Babilonia, Palestina, Suriah, seluruh Asia Kecil dan Mesir. Kejayaan itu berlangsung lebih dari dua abad lamanya, hingga tahun 330 SM, bersamaan dengan munculnya kekuasaan Romawi. Pada saat itu, Persia ditaklukkan Alexander the Great (Alexander Agung).

Wilayah ini akhirnya menjadi rebutan kekuasaan yang silih berganti, dari Dinasti Arcasida dan Kekaisaran Parthia (248 SM-224 M),[4] dan dilanjutkan dengan Kekaisaran Sassanid (226-651M),[5] hingga masuk masa Islam, yaitu pada masa Khulafa al-Rasyidin di Arab, Islam masuk ke Persia. Sejak tahun 640 M hingga sekarang, seluruh wilayah Persia telah dikuasai Pemerintahan Islam.[6] Hanya saja, terjadi perebutan kekuasaan antar dinasti-dinasti Islam sejak masa Khulafa al-Rasyidin, Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, Dinasti Safawi, Dinasti Qajar, Dinasti Pahlavi, hingga Republik Islam Iran. Menurut kronologisnya, Iran mulai mendapat campur tangan Eropa pada 1779, saat Dinasti Qajar berkuasa.

Memasuki Abad ke-20, tepatnya tahun 1921, pasca Perang Dunia pertama, terjadi kudeta yang dilakukan oleh Reza Khan untuk merebut kekuasaan dari pemerintahan Qajar. Pada tahun 1925 Reza Khan menjadi penguasa dan mengganti namanya menjadi Reza Pahlevi. Kerjasamanya dengan Nazi, menyebabkan sekutu yang selama ini mendukungnya, memaksanya turun tahta. Ia digantikan oleh putranya Mohammad Reza Shah Pahlevi. Pada 1935 Persia berganti nama menjadi Iran,[7] dan Muhammad Reza Pahlevi, menyatakan bahwa kedua nama tersebut (yaitu Persia dan Iran) boleh digunakan. Pemerintahan Syah Iran ini bertahan hingga 1979, saat Ayatullah Khumaini meruntuhkan kekuasaanya melalui perlawanan panjang dalam sebuah revolusi yang meonumental. Sejak itu Iran menjadi Negara modern non-monarki dengan nama Republik Islam Iran.

TRANSFORMASI SYIAH KE WILAYAH IRAN

Iran wilayah yang memiliki luas hampir 1,65 km², memiliki kedudukan unik sebagai satu-satunya negeri Islam yang menjadikan syiah sebagai mazhab resmi dan mayoritas penduduknya bermazhab syiah, lebih tepat lagi mazhab syiah Itsna ‘asyariyah. Memang, terdapat kelompok besar syiah itsna ‘asyariyah yang penting di Irak dan kelompok-kelompok kecil di Libanon, Bahrain serta daerah-daerah lainya. Namun secara keseluruhan, komunitas syiah itsna ‘asyariyah hanya 8 persen[8] dari komunitas umat Islam dunia, dibandingkan pengikut mazhab sunni yang berjumlah 90 persen.[9] Syiah itsna ‘asyariyah mempunyai banyak nama sebutan yang lain seperti syiah Imamiyah, mazhab ja’fari, atau mazhab ahlul bait.

Transformasi syiah ke Iran (Persia) mencerminkan proses historis yang panjang dengan beberapa faktor pembentuknya, diantaranya :

1. Tiadanya fanatisme kebangsaan, kepentingan-kepentingan kelompok, dan motif-motif kesukuan pada masyarakat Iran. Sebab, mereka tidak bernisbat pada salah satu kabilah diantara kabilah-kabilah Quraisy atau kabilah-kabilah lain yang ada di Semenanjung Arab. Kefanatikan dan kepentingan kelompok tidak menghalangi mereka dari jalan dan mazhab ahlul bait.
2. Tradisi keilmuan yang telah berkembang di Iran memberi mereka semangat untuk mengkaji Islam yang mengklaim memerintahkan pada ilmu pengetahuan dan membuang taklid buta. Oleh karena itu, para penganut Majusi di tengah mereka menjadi bimbang dan ragu-ragu setelah mempelajari Islam. Mereka berdialog dengan kaum muslimin dan mendalami ajaran Islam, kemudian masuk Islam tanpa dipaksa.
3. Kepribadian Imam Ali bin Abi Thalib yang mengesankan bagi masyarakat Iran. Misalnya, sewaktu para tawanan dari Iran di bawa ke Madinah, Imam Ali membela dan memberikan hak-hak mereka yang saat itu sebagian telah diabaikan. Terutama terhadap putri Kisra, Syah Zanan dan Syahr Banu yang mana, Imam Ali menyuruh dua orang putri Kisra untuk memilih pemuda Islam untuk menikahinya. Syah Zanan memilih Muhammad bin Abu Bakar, sedangkan Syahr Banu memilih Imam Husain. Dari keturunan keduanya kelak lahir para Imam-Imam Syiah. Ini merupakan salah satu sebab penting ketertarikan penduduk Iran pada pribadi Imam Ali.
4. Hubungan penduduk Iran dengan Salman al-Farisi yang memiliki keagungan dan kemuliaan serta menjadi pengikut setia Imam Ali.[10]

Namun demikian tahap terpenting perkembangan Syiah di Iran terjadi pada masa berkuasanya Dinasti Buwaihi dan Dinasti Safawid pada abad ke-16. Yang mana pada saat itu terbentuk suatu jaringan ulama utuh, menyeluruh dan terbuka secara progresif.

Sejak abd ke-15 M, pengikut Syiah bertaburan di seluruh pelosok negeri Islam dalam kelompok-kelompok kecil, termasuk orang Arab maupun Iran. Suatu perubahan besar terjadi pada 1501 ketika seorang pemimpin – belakangan dikenal sebagai Syah Ismail – menaklukkan sebagian besar daerah Iran, dan mendirikan Dinasti Safawid dengan menjadikan mazhab Imamiyah sebagai mazhab resmi di wilayah kekuasannya. Secara bertahap penaklukan ini mengarah kepada suatu pemusatan kaum syiah di Iran, di samping sekelompok besar masyarakat Irak di mana terdapat tempat-tempat suci Imamiyah yang penting, dan beberapa kelompok kecil di daerah lainnya.

Setelah menaklukkan Iran awal abad ke-16, Syah Ismail mengundang para ulama syiah dari berbagai daerah lainnya ke Iran.[11] Menurut Olivier Roy, hal ini ia lakukan untuk membersihkan diri dari asal-usul mereka yang murni kesukuan dan sektarian agar bisa membangun negara yang stabil. Mereka memilih syiah itsna ‘asyariyah sebagai mazhab resmi negara,[12] dan para Syah Iran mengklaim memerintah pada saat gaibnya Imam kedua belas.[13]

Kendatipun pada awalnya, ulama-ulama ini sangat tergantung kepada Syah Ismail, namun secara bertahap mereka memapankan diri dan diterima secara umum.[14] Hanya mereka yang mengepalai pengadilan-pengadilan agama, meskipun terdapat pengadilan-pengadilan adat lainnya yang tidak dicampuri para ulama. Terdapat suatu lembaga keagamaan yang belum sempurna, karena ulama di masa itu memiliki seorang wakil di pengadilan yang dikenal dengan shadr, dan orang inilah yang memilih kepala penasehat hakim dengan gelar Syeikh Islam.

Iran juga menjadi pusat kesarjanaan syiah, dan terjadi perkembangan-perkembangan dalam lapangan hukum serta teologi. Dinasti Safawid terus memerintah Iran hingga 1722, dan pada waktu itu syiah telah sangat mapan. Bagian selanjutnya abad ke-18 merupakan suatu periode yang tidak menentu dengan ditaklukkannya Iran oleh panglima perang Afghan dan penguasa sunni, Nadir Syah (1736-1747). Akan tetapi syiah tetap merupakan mazhab yang berpengaruh di Iran. Dinasti Qajar, yang mulai berkuasa menjelang penghujung abad tersebut hingga 1924, membutuhkan dukungan ulama-ulama Imamiyah dan sebagai imbalannya, balik mendukung mereka.[15]

Kemudian terjadi perkembangan, yang mana, mulai diterima secara luas pandangan yang dikemukakan para ulama bahwa hanya mereka – berdasarkan pengetahuan mengenai Al-quran, hadis dan ajaran para imam – yang dapat menafsirkan agama kepada orang-orang sezaman dengan mereka. Akibatnya adalah kekuasaan militer tidak memberikan kepada pemegangnya hak untuk memerintah. Kekuasaan hanya sah jika penguasanya bertindak selaras dengan ajaran-ajaran keagamaan. Seluruh kekuasaan lainnya adalah tidak sah. Kepercayaan kepada Imam Mahdi dipandang secara tidak langsung bermakna bahwa lembaga keagamaan berada di atas penguasa yang sebenarnya. Implikasi semacam ini, hingga taraf tertentu diakui Dinasti Qajar karena mereka membutuhkan dukungan lembaga keagamaan. Namun hal ini tidaklah berarti para penguasa selalu mengerjakan yang dikehendaki ulama.

Selama abad ke-19 dinasti Qajar mengambil langkah-langkah tertentu untuk memperbarui negerinya secara kecil-kecilan, dan kebijakan ini ditentang para ulama karena mencemaskan bahwa pembaruan tersebut akan mengarah kepada penggembosan kekuasaan mereka. Namun sejauh kaum fakir miskin dan pedagang pasar dapat dipengaruhi, maka ulama mampu memperoleh reputasi sebagai pembela masyarakat awam menentang penguasa-penguasa yang menindas.[16]

Menguatnya posisi ulama semakin mengukuhkan mereka memiliki bargaining penting dalam suatu Negara. Setidaknya, kehadiran mereka akan menjadi penyeimbang kekuasaan pemerintah (balance of power). Hal itu dibuktikan mereka, dimana pada akhir abad 19, terjadi revolusi tembakau dengan fatwa bersejarahnya Ayatullah Syirazi dan memasuki abad ke-20 dengan terjadinya revolusi konstitusional pada 1905.

GAMBARAN UMUM REPUBLIK ISLAM IRAN [17]

Kondisi Geografis dan Sosiologis

Republik Islam Iran, menjadi Negara modern dengan luas wilayah 1.648.195 km² (dengan perincian daratan sekitar 1.636.658 km²; perairan 11.537 km²) dan Teheran sebagai ibukota negaranya. Secara geografis, tercatat sebagai bagian negara Timur Tengah yang terletak di wilayah Asia Barat Daya, Iran berbatasan dengan Laut Kaspia di utara, Teluk Oman dan Teluk Persia di selatan, Turki dan Irak di barat, serta Afghanistan di Timur. Seperti layaknya negara-negara Timur Tengah yang lain, Iran juga merupakan negara yang dipenuhi dengan padang gersang atau gurun di sebelah Timur serta dataran rendah dan danau musiman seperti Dasht-e Kavir yang asin. Kontras dengan hal itu adalah deretan gunung-gunung batu yang panas, terutama bagian Barat yang memiliki barisan Pegunungan Kaukasus, Pegunungan Zagros dan Alborz, yang terakhir merupakan tempat titik tertinggi Iran, Gunung Damavand pada 5.604 m.

Iklim Iran kebanyakan kering atau setengah kering, meskipun ada yang subtropis sepanjang pesisir Kaspia. Di sisi utara negeri itu (dataran pesisir Kaspia) suhu amat rendah membekukan dan tetap lembab selama beberapa tahun terakhir. Suhu musim jarang mencapai 29°C. Penguapan tahunan adalah 680 mm di bagian timur dataran dan lebih dari 1700 mm di sisi barat dataran. Di barat, permukiman-permukiman di lereng Pegunungan Zagros mengalami rendahnya suhu. Daerah-daerah itu memiliki musim dingin yang hebat, dengan rata-rata suhu harian membekukan dan curah saljunya keras. Lembah timur dan tengahnya kering, yang curah hujannya kurang dari 200 mm dan bergurun. Suhu musim panas rata-rata melebihi 38°C. Dataran pesisir Teluk Persia dan Teluk Oman di Iran selatan memiliki musim dingin yang sejuk dan mengalami musim panas yang lembab dan panas. Penguapan tahunan berkisar dari 135 mm hingga 355 mm.

Jumlah penduduknya yang diperkirakan sekitar tujuh puluh juta jiwa (tahun 2006), nyaris seluruhnya (98 %) beragama Islam –dengan persentase 90 % bermazhab syiah, dan sisanya, 10 % bermazhab sunni. Meskipun begitu, hidup pula secara aman agama-agama lain seperti Yahudi, Kristen, Zoroaster, dan sebagian kecil Bahai. Bahasa Persia menjadi bahasa resmi negara. Sebab, Persia merupakan suku mayoritas di Iran (51 %) selain Azerbaijan (24 %). 25 % sisanya adalah suku-suku yang relatif kecil seperti Kurdi (7 %), Gilaki dan Mazandaran (8 %), Arab (3 %), Turkmen (2 %), Baluchi (2 %), lur (2 %), dan suku-suku kecil lain (1 %).

Kondisi Ekonomi

Dengan menggunakan mata uang rial sebagai alat tukarnya, pembiayaan negara dan sumber utama anggaran ekonomi Iran adalah minyak dan gas alam (45%), serta cukai (31%). Deposit minyak yang telah dieksplorasi mencapai 133,25 miliar barel, menempati urutan kedua di dunia setelah Arab Saudi, dan gas alam 27,51 triliun meter kubik, menyuplai sebesar 15,6 persen deposit total dunia, berada di urutan kedua setelah Rusia. Produksi minyak setidaknya menempati 85 % penghasilan utama dari devisa negara. Dengan kondisi ini, maka sistem ekonomi Iran merupakan campuran Ekonomi Perencanaan Sentral dengan sumber minyak yang perusahaan-perusahaan utamanya dimiliki pemerintahan, meskipun juga terdapat beberapa perusahaan swasta.

Hutan adalah sumber daya alam terbesar kedua Iran setelah minyak bumi. Permadani Persia yang bersejarah lebih 5.000 tahun tersohor di dunia. Kini, permadani Persia sudah menjadi produk ekspor tradisional Iran yang tersohor di dunia. Industri-industri lain seperti tekstil, makanan, bahan bangunan, permadani, kertas, tenaga listrik, kimia, otomotif, metalurgi, baja dan permesinan juga memberikan peranan bagi ekonomi masyarakat Iran. Sedangkan pertanian relatif tertinggal dan tingkat mekanisasi agak rendah.

Untuk itu, Iran juga mengembangkan perdagangan dengan negara-negara lainnya, hanya saja karena ada sanksi PBB, sehingga cukup terhambat kemajuannya. Namun demikian, Iran berhasil membentuk kerjasama dagang dengan China, Rusia, Jerman, Perancis, Italia, Jepang dan Korea Selatan. Sementara itu, semenjak lewat dekade 1990-an, Iran mulai meningkatkan kerjasama ekonomi dengan beberapa negara berkembang termasuk Suriah, India dan Afrika Selatan. Dengan semua itu, pertumbuhan ekonomi Iran dapat dikatakan stabil dalam dekade terakhir ini.

Untuk mempermudah jalur transportasi, Iran membangun transportasi baik darat, laut maupun udara. Untuk daratan, Iran membangun jalan raya yang menghubungkan antar kota-kota utama dan kawasan-kawasan di luar kota. Pada 2002, Iran mempunyai 178.152 km jalan raya dan 66% beraspal. Selain itu, jalur Kereta Api juga menjadi transportasi masyarakat Iran (terdapat 30 pengguna KA bagi setiap 1000 penduduknya) yang jalurnya sepanjang 6.405 km (3.980 mil). Untuk peningkatan transportasi, Iran di beberapa wilayahnya seperti Tehran, Masyhad, Shiraz, Tabriz, Ahwaz dan Isfahan juga membangun jalur kereta api bawah tanah.

Pelabuhan utama Iran ialah pelabuhan Bandar Abbas yang terletak di Selat Hormuz. Meskipun sebagai jalur laut, pelabuhan ini dihubungkan dengan sistem jalan raya dan jalan kereta api untuk pengangkutan kargo. Jaringan kereta api Tehran-Bandar Abbas dibangun pada 1995 yang menghubungkan Bandar Abbas dengan seluruh Iran dan Asia Tengah melewati Tehran dan Masyhad. Pelabuhan-pelabuhan lain ialah pelabuhan Bandar Anzali di Laut Kaspia, pelabuhan Bandar Turkmen juga berhadapan dengan Laut Kaspia, dan pelabuhan korramshahr dan pelabuhan Bandar Khomeini di Teluk Parsi. Sedangkan transportasi udara, Iran memiliki maskapai penerbangan Iran Air. Hampir setiap kota-kota utama di Iran dihubungkan dengan Pengangkutan Udara. Sistem transit terdapat di semua bandar-bandar utama.

Kondisi Adiministrasi Negara

Iran terbagi atas tiga puluh provinsi yang diperintah seorang gubernur (ostāndār). Propinsi tersebut adalah Teheran, Qum, Markazi, Qazwin, Gilan, Ardabil, Zanjan, Azarbaijan Timur, Azarbaijan Barat, Kurdistan, Hamadan, Kermanshah, Ilam, Lorestan, Khuzestan, Chahrmahal dan Bakhtiari, Kohgiluyeh dan Boyer Ahmad, Bushehr, Fars, Hormozgan, Sistan dan Baluchestan, Kerman, Yazd, Isfahan, Semnan, Mazandaran, Golestan, Khurasan Utara, Razavi Khurasan, dan Khurasan Selatan.

Melihat pada pembagian wilayah administratif itu, Iran termasuk Negara dengan tingkat pertumbuhan kawasan kota tertinggi di dunia. Sejak 1950 hingga 2002, penduduk kota meningkat sebanyak 33 % (yaitu dari 27% menjadi 60%). PBB memperkirakan pada tahun 2030, populasi di kota akan mencapai 80% dari jumlah keseluruhan penduduk Iran.

Tebel 8

Beberapa Kota Besar di Iran dan Jumlah Penduduknya.

NO


NAMA KOTA


JUMLAH PENDUDUK

1
Teheran

7.314.000

2
Mashad

2.463.393

3
Karaj

1.602.350

4
Isfahan

1.600.554

5
Tabriz

1.496.319

6
Shiraz

1.307.552

7
Qom

1.081.745

8
Ahvaz

832.969

Demi menjaga kedaulatan Negara, terutama setelah dihantam perang yang terus-menerus, Iran memperkuat posisi militernya. Memang, sebelum revolusi Islam, dengan dukungan kuat Amerika Serikat, Iran dapat membangun kekuatan persenjataan dan militernya sehingga tercatat sebagai Negara muslim terkuat dan Negara terkuat ke lima di dunia. Akan tetapi, pasca revolusi, akibat sanksi PBB, Iran menjadi Negara yang paling minim persenjataannya. Namun, secara perlahan tetapi pasti, Iran mengembangkan kekuatan militer secara mandiri dan di bantu oleh beberapa Negara yang tidak berafiliasi ke Amerika seperti Rusia. Selepas perang Irak-Iran, negeri para Mullah ini, mengembangkan program persenjataan dengan menghidupkan kembali berbagai fasilitas dan pabrik-pabrik yang di bangun oleh Syah Iran sebelumnya, termasuk fasilitas-fasilitas pengayaan uranium dan nuklir.

Republik Islam Iran, di bawah kepemimpinan wilayah al-faqih membentuk dua model pasukan militer, yaitu pasukan militer negara dan pasukan militer pengawal revolusi. Pasukan militer Negara disebut Tentara Nasional Iran yang terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Sedangkan pasukan militer pengawal revolusi terdiri dari lima bagian yaitu Pasukan Quds (Pasukan Khusus), Basij, Angkatan Darat Revolusi, Angkatan Laut Revolusi, dan Angkatan Udara Revolusi. Kedua model pasukan militer ini ada di bawah komando Menteri Pertahanan dan Logistik Pasukan Bersenjata Iran.

Pada dasarnya tidak dapat diketahui secara pasti jumlah pasukan militer Iran, sebab kedua model di atas berlaku untuk menjaga kedaulatan Iran, terutama pasukan pengawal revolusi yang lebih berafiliasi pada pemimpin revolusi atau wali faqih (rahbar). Saat ini diperkirakan, pasukan pengawal revolusi berjumlah 545.000 orang ditambah laskar simpanan mencapai 11 juta lelaki dan perempuan yang mampu dan siap digunakan.

Tebel

Kondisi Umum Republik Iran
Nama Negara Jomhūrī-ye Eslāmī-ye Īrān(Republik Islam Iran; Islamic Republic of Iran;)
Motto Esteqlāl, āzādī, jomhūrī-ye eslāmī (Kemerdekaan, Kebebasan, Republik Islam)
Lagu Kebangsaan Sorūd-e Mellī-e Īrān
Ibu kota Teheran
35°40′ LU 51°25′ BT
Wali Faqih/Rahbar Ayatullah al-Uzhma Sayid Ali Khamenei
Presiden Mahmoud Ahmadinejad
Bahasa resmi Persia
Revolusi 11 Februari 1979
Hari kemerdekaan 1 April (1979) (Hari Republik Islam)
Luas Wilayah 1.648.195 km² (99,3 % daratan; 0,7% lautan)
Lambang negara Terdiri atas empat bulan sabit, sebuah pedang dan sebuah Al-Quran.
Bendera nasional Terdiri dari tiga strip panjang melintang sejajar warna hijau, putih dan merah (dari atas ke bawah). Di bagian tengah strip putih terdapat gambar lambang negara Iran warna merah. Di bagian pertemuan warna putih dengan warna hijau dan merah, masing-masing tertulis “Allahu Akbar” dalam bahasa Arab. Warna hijau mewakili pertanian, melambangkan kehidupan dan harapan; warna putih melambangkan suci dan murni; warna merah menunjukkan bahwa Iran kaya akan sumber daya mineral.
Pembagian daerah administrasi Seluruh negeri terbagi 30 provinsi, 195 kabupaten, 500 distrik dan 1.581 kecamatan.
Jumlah Penduduk 68.017.860 (tahun 2005) dengan kepadatan 41 jiwa/km²;
PDB (PPP)
- Total
- Per kapita perk. 2005
US$518,7 miliar
US$7.594
Mata uang Rial
Produksi utama Minyak dan gas alam
Iklim Kering dan sebagian subtropis
Agama – agama utama Islam (98 %), Yahudi, Kristen, Zoroaster, (2 %)
Suku-suku Utama Persia (51 %), Azerbaijan (24 %), Kurdi (7 %), Gilaki dan Mazandaran (8 %), Arab (3 %), Turkmen (2 %), Baluchi (2 %), lur (2 %), dan suku-suku kecil lain (1 %).


KONDISI IDEOLOGI, SOSIAL DAN POLITIK DI IRAN

Kondisi Ideologis

Menurut Azyumardi Azra, ada dua kelompok yang berpengaruh dalam perumusan ideologi pergerakan Revolusi Islam Iran, yakni; ‘ulama’ (religious scholars) pada satu pihak dan intelektual awam (lay intellectuals) di pihak lain. Di antara yang paling menonjol di dalam kelompok ‘ulama’ termasuk, tentu saja, Ayatullah Murtadha Muthahhari dan Ayatullah Ruhullah Khomeini. Sedangkan yang paling menonjol dalam kelompok intelektual awam adalah Ali Syari’ati, Mehdi Bazargan dan Bani Sadr.[18]

Sebagai mujtahid dan menyandang posisi marja’, para ulama ini memainkan peran kunci yang menghembuskan kesadaran keberagamaan dan ideologi yang kuat di tengah-tengah masyarakat. Hal itu terus-menerus dilakukan dan diperkuat oleh para ulama hingga terjadinya Revolusi Islam Iran pada 1979 yang mengamanahkan kedudukan resmi pada ulama.

Imam Khumaini dan Murtadha Muthahhari berdiri tegar sebagai corong suara ulama yang menentang kekuasaan tiranik Syhah Pahlevi. Dengan segala ativitasnya, baik melalui tulisan, ceramah, lembaga pendidikan, hauzah, husainiyah, organisasi, dan lainnya, mereka berusaha membangun kesadaran politik ulama dan rakyat. Perjuangan mereka ternyata membuahkan hasil, dengan terjadinya Revolusi Islam, meskipun akhirnya Muthahhari menyumbangkan darahnya untuk menggapai syuhada dalam perjuangan tersebut.

Ali Syari’ati (1933-1977) agaknya merupakan salah seorang di antara tokoh “ulama” dan intelektual awam yang paling berpengaruh dalam kebangkitan Revolusi Islam Iran.[19] Syariati merupakan pribadi yang kompleks, elektik, sekaligus emosional dan kontroversial. Sikap elektiknya membuat ia mampu dalam tarikan nafas yang sama menyebut Imam Ali, Imam Husein dan Abu Dzar, Jean Paul Sartre, Frantz Fanon, Emile Durkheim, Max Weber dan Karl Marx. Sehingga Azra menulis, bahwa pemikiran Syari’ati nampaknya tidak terlalu sistematis; tidak jarang terlihat bahwa pemikiranya dalam banyak tema penuh kontradiksi. Karena itu, Syari’ati tampil dalam banyak wajah, yang pada gilirannya membuat orang sering keliru memahaminya.[20]

Lantaran ketenarannya sebagai seorang orator, Syariati tampaknya telah memainkan peran penting dalam penciptaan suatu potret diri Islam baru yang aktivis dan revolusioner. Dalam cara semacam ini, ia telah mempengaruhi kebanyakan kelas menengah berpendidikan Barat untuk memandang Islam sebagai titik api untuk bertindak menentang Syah. Ia sering dikritik para ulama–-tentunya lantaran serangannya terhadap mereka–-tetapi kalangan tertentu ulama mulai memahami nilai dan makna penting pengungkapan Islam yang aktivis seperti dikemukakan Syariati. Lantaran pengungkapan tersebut meletakkan figur Husain di titik pusatnya, maka ia juga menarik minat berbagai kelompok Muslim yang lebih tradisional. Dalam suatu pengertian, karya Syariati telah lengkap sebelum ia dipenjarakan pada 1973, dan kematiannya yang terlalu dini pada 1974 setidak-tidaknya telah meningkatkan pengaruhnya.[21]

Salah satu pertarungan ideologis penting di Iran adalah pertarungan ideologi Islam (syiah) dengan ideologi Barat baik yang bercorak komunisme, marxisme maupun materialisme. Peracunan ideologi Islam oleh ideologi Barat ini menyebabkan bobroknya kondisi Iran baik dari segi keberagamaan dan sistem politik yang dibentuk oleh Syah. Materialisme dengan pandangan dunianya yang khas, menolak keberadaan unsur kegaiban yang merupakan pandangan dunia ilahiah. Hal ini, akan mengancam doktrin-doktrin inti dari agama Islam. Begitu pula, unsur-unsur sekularisme dan liberalisme, mewarnai jalannya pemerintahan dan politik di Iran.

Marxisme misalnya dikembangkan secara organisatoris oleh Partai Tudeh yang dirikan pada 28 september 1941, yang pada 1960 dengan jelas dan terbuka mengacu pada ideologi Marxis-Leninisme. Dengan cerdiknya, untuk tidak menyinggung sensitifitas keberagamaan masyarakat, kelompok ini mengembangkan isu sosialisme Islam. Mereka mengklaim sebagai pendukung agama Islam dan menghargai ajaran Nabi Muhammad saaw. Untuk menjaga kondisi psikologis masyarakat, kelompok ini tidak melakukan serangan terbuka terhadap ajaran-ajaran Islam dan para ulama. Strategi yang dikembangkan adalah, jangan membebani diri dengan perdebatan kontroversial mengenai ushuluddin seperti keberadaan Tuhan, peran agama dalam masyarakat, atau kedudukan agama dalam pemikiran Marxis, akan tetapi kembangkan dan presentasikan bahwa kelompok ini adalah bertanggung jawab untuk menciptakan keadilan sosial, kemerdekaan, perdamaian, anti-fasisme, sehingga bisa menarik masyarakat dan para intelektual serta psofesional terdidik. Setelah masuk dan menjadi anggota partai ini, barulah ditanamkan prinsip-prinsip sosialisme yang berdasarkan pada materialisme dialektis.[22]

Kondisi ini, memunculkan kesadaran kaum intelektual dan ulama akan kondisi Iran yang semakin parah. Dari sini disepakati secara luas bahwa akar permasalahan yang dihadapi adalah pembauran atau pembaratan, penggerogotan akidah dan pengaburan ajaran Islam, atau setidak-tidanya beberapa aspek darinya. Orang-orang mulai berbicara tentang “kuman penyakit Barat” atau “peracunan Barat” (gharbzadeghe) dan sebuah buku dengan judul senada diterbitkan oleh Jalal Ahmad pada 1962. tentunya hal ini merupakan suatu cara yang lebih canggih dalam mengungkapkan bahaya–-yang dirasakan kaum Muslim di mana saja–-akan kehilangan jati diri Islam mereka.[23]

Dengan kesadaran tersebut, para ulama dan intelektual Iran yang religius, menulis berbagai buku dan menyebarkan kaset-kaset ceramah yang membantah secara akurat prinsip-prinsip materialisme atau marxisme. Allamah Thabathabai dan Murtadha Muthahhari misalnya, menaruh perhatian khusus kepada filsafat Materialisme. Mereka dengan jeli mengkaji dasar-dasar ideologis filsafat tersebut dan memberikan bantahan-bantahan jitu secara filosofis. Beragam pamflet dan buku-buku yang diedarkan Partai Tudeh, dipelajari Muthahhari, seperti karya Taqi Arani yang terkenal. Hasil kajian dan analisis, dituangkan dalam buku tebal dan berbobot Ushul el Filsafat wa Ravesh-e Realism, (Prinsip Filsafat dan Metode Realistik).

Kondisi Sosial-Politik

Sejak periode modern ini, pertahanan bangsa Iran menjadi saling terkait dengan Islam dan Syiah. Masuknya kaum ulama ke arena politik dimulai dengan fatwa Ayatullah Shirazi. Pada tahun 1891, ia melarang penggunaan tembakau selama monopoli yang diberikan kepada sebuah perusahaan Inggris tidak dicabut. Pada tahun 1906, mayoritas ulama tinggi mendukung gerakan konstitusionalis Iran. Inilah yang dikenal dengan revolusi konstitusional. [24]

Terdapat dua kasus yang menonjol dimana Ulama berhasil menentang pemerintahan. Para Syah, dalam rangka membiayai impor-impor dari Eropa dan perjalanan mereka ke sana, memberi konsesi-konsesi kepada Eropa, contohnya memperoleh hak memungut pajak tertentu pada pembayaran sejumlah upeti kepada Syah. Pada 1872 suatu konsesi berjangkauan luas diberikan kepada seorang warga negara Inggris, Baron de Reuter, yang secara khusus memberi pengaruh merugikan kepada para pedagang pasar. Para pedagang tersebut bersama ulama berupaya membuat konsesi itu dibatalkan. [25]

Kejadian senada terjadi pada 1891, ketika hak monopoli tembakau (untuk pemasaran tembakau yang tumbuh di Iran) diberikan kepada seorang warga negara Inggris lainnya. Pada peristiwa ini, “sumber taklid” dimasa itu, Ayatullah Syirazi, mengemukakan sutau fatwa bahwa dalam situasi dewasa ini haram bagi kaum muslimin memakai tembakau atau terlibat di dalamnya; dan fatwa ini sangat dipatuhi masyarakat pada umumnya sehingga monopoli dibatalkan. Ulama juga memainkan peran dalam suatu gerakan konstitusional pada 1905 hingga 1911, tetapi mereka menurut Montgomery Watt bukanlah satu-satunya unsur penentu dan barangkali bukan yang terpenting.[26] Namun, sikap para ulama Iran yang memiliki pendirian tegas dan keras untuk mendukung gerakan ini, sehingga menimbulkan revolusi 1966 menurut Hamid Enayat merupakan ciri khas tersendiri yang tidak terdapat di negara lain.[27]

Berkuasanya Reza Khan sebagai perdana menteri Iran pada 1921, dan kemudian sebagai Reza Syah di masa penggulingan dinasti Qajar pada 1924, telah menimbulkan suatu kemerosotan yang parah dalam kekuasaan lembaga keagamaan. Sejak saat itu pembaruan tidak lebih dari impor kenikmatan dan kemewahan Barat untuk kaum berada dan sedikit sekali yang dilakukan untuk membangun negeri. Sebagian terbesar hal ini disebabkan oleh persaingan Inggris dan Rusia untuk mengendalikan Iran. Pada 1907 kedua negara tersebut mengadakan suatu kesepakatan yang menetapkan bahwa sepertiga daerah lainnya di bagian tengah terbuka untuk keduanya. Namun kesepakatan ini telah cukup bagi keduanya untuk tetap membiarkan sebagian besar negeri Iran tidak berkembang. Dengan demikian terbuka peluang yang luas bagi Reza Syah untuk memacu pembaruan, dan ia memulainya secara bersemangat. Tipe pendidikan Barat didorong; hukum-hukum baru yang tidak berpijak pada syariah diundangkan dan pengadilan-pengadilan baru didirikan untuk mengelola hukum-hukum tersebut oleh dinasti Pahlevi.[28]

Reza Syah jelas sangat mengetahui kebijakan-kebijakan Mustafa Kemal Attaturk di Turki dan langkah-langkah yang ditempuhnya untuk membuat negeri tersebut menjadi negara sekuler serta melumpuhkan lembaga keagamaan dalam rangka memudahkan proses pembaruan. Pilihan nama Pahlevi sebagai nama dinasti memperlihatkan hasrat untuk mengagungkan masa lalu Iran pra-Islam dengan mengorbankan Islam. Pengagungan masa lalu berjalan dan bahkan lebih bersemangat di bawah pemerintahan anaknya, Mohammad Reza Syah, dan mencapai titik puncak pada perayaan akbar ulang tahun ke-2500 monarki Iran 1971. Secara wajar hal ini juga dipandang lembaga keagamaan dan kebanyakan Muslim lainnya sebagai suatu serangan terhadap Islam.[29]

Dampak sosial yang lebih luas dari program modernisasi Muhammad Reza Pahlevi pembaruan pendidikan, kesehatan dan pertanian. Akan tetapi manfaatnya tidak proporsional bagi kelompok kecil urban modern yang sedang berkembang. John L. Esposito menyebutkan situasi Iran dengan dramatis :

“Cahaya dan kemilau kota-kota modern menutupi kondisi aktual kaum urban yang miskin dan masyarakat desa di Iran. Sementara kelompok minoritas merasakan kesejahteraan. Negara yang tadinya merupakan negara pertanian yang bersifat swasembada, kini membelanjakan lebih satu milyar dolar untuk barang-barang impor. Orang berdatangan ke kota-kota besar dari desa-desa, mengharapkan kehidupan yang lebih baik tanpa mempunyai keterampilan kerja yang diperlukan. Mereka menjadi penduduk pengangguran yang menghuni daerah-daerah kumuh yang padat.

“Baik para pedagang tradisional (bazari) maupun kelompok keagamaan menderita karena program modernisasi Pahlevi yang berorientasikan Barat, yang mempengaruhi kehidupan mereka mulai pakaian, pendidikan, dan hukum sampai ke perdangangan dan land reform. Kaum bazari, seperti kaum ulama, melihat ketergantungan Iran kepada Barat sebagai suatu ancaman terhadap status, kepentingan ekonomi, dan nilai-nilai religio-kultural mereka. Peraturan Reza Syah pada tahun 20-an dan 30-an, yang telah memerintahkan pakaian Barat bagi laki-laki, melarang penggunaan cadar, dan membatasi penggunaan jubah, kini di bawah puteranya ditambah dengan westernisasi kaum elit modern Iran dan banyak pusat urban. Kekuasaan dan kekayaan para pedagang terancam oleh arus bank-bank dan perusahaan Barat serta kelas wiraswastawan baru yang timbul dan berkembang dengan bantuan negara.” [30]

Barat sejak lama telah merupakan tantangan dan ancaman bagi Iran. Walaupun Iran tidak pernah secara langsung diperintah oleh penjajah, Uni Soviet di Timur dan Inggris di Selatan telah bersaing menanamkan pengaruhnya. Bahaya intervensi dan ketergantungan kepada pihak asing, yang dilambangkan oleh peristiwa yang menimbulkan protes keras seperti revolusi tembakau, terjadi kembali pada tahun 1941, ketika Reza Syah turun tahta demi puteranya. Lebih jelas lagi pada tahun 1953, ketika Syah dibuang ke pengasingan oleh gerakan nasionalis yang dipimpin oleh Perdana Menteri Muhammad Mossadegh, yang program nasionalisasi minyaknya mengancam kepentingan perusahaan minyak Barat.

Kembalinya Syah dari Roma ke Teheran, naik pesawat militer Amerika bersama kepala CIA di sampingnya, dipersiapkan oleh Amerika dengan bantuan Inggris. Ikatan ekonomi, militer dan politik Iran dengan Barat, khususnya dengan Amerika, berkembang dengan baik. Amerika, Inggris dan Prancis mendapat keuntungan dari penjualan persenjataan dan membantu pelatihan militer dan polisi rahasia (SAVAK) Iran. Ketika Amerika sedang sibuk di Vietnam dan Inggris sedang menarik pasukannya dari Teluk Persia, Irannya Syah menggambarkan kebijaksanaan yang sesuai dengan kebijaksanaan Amerika, mulai dari penolakan Syah terhadap Nasserisme dan hubungan yang pragmatis dengan Israel, serta kehadiran bangsanya yang mantap di Teluk, sampai kekayaan minyak dan pasarnya bagi produk-produk Amerika. Kehadiran bank dan tokoh bisnis Amerika da Eropa bersama-sama dengan diplomat dan penasehat militer berpengaruh kuat di Iran. Pada akhir tahun 60-an “kebijaksanaan dan dukungan pro-Pahlevi mulai mendominasi tingkat tertinggi penyusunan kebijaksanaan asing Amerika.[31]

Ulah dan kebijakan-kebijakan Syah mendapat tantangan keras dari para ulama tradisional dan megorganisir gerakan untuk menentang kekuasaan Syah yang dianggap telah menegakkan kezaliman dan menghancurkan ajaran-ajaran Islam.

Orang yang mengatur berhimpunnya seluruh kekuatan oposisi dalam rangka mengenyahkan Syah adalah Ayatullah Ruhullah Musawi Khomeini, yang dilahirkan pada 1902. Pada 1921 ia pergi ke Qum untuk menyelesaikan pendidikannya, dan pada 1926 mencapai tingkat mujtahid. Di awal 1944 ia terlibat dalam kritik terbuka terhadap aspek-aspek kebobrokan rezim Pahlevi, tetapi selama gelombang kekacauan pada 1962 dan 1963 barulah ia tampil ke depan sebagai pengecam terang-terangan rezim tersebut. Akibatnya ia diasingkan, pertama kali ke Turki, kemudian ke Nejef di Irak pada 1969, dan akhirnya pada 1978 ke Paris.

Selama masa pengasingannya inilah pemikirannya terbentuk, seperti yang dijelaskan dalam kuliah-kuliah kepada mahasiswa. Ia sangat prihatin kepada masalah keterasingan akibat pengaruh Barat. Untuk membasmi “kuman penyakit Barat” ini, ia memandang penting diciptakannya suatu lingkungan di mana syariah berkuasa dan terdapat keseragaman ideologis. Meski merupakan seorang ulama, ia juga menerima konsepsi Syariati tentang Islam Syiah sebagai aktivitas, “Islam adalah agama para individu militan yang tuduk secara sepenuhnya kepada kebenaran dan keadilan. Ia merupakan agama kepada orang-orang yang menghendaki kemerdekaan. Ia merupakan mazhab orang-orang yang berjuang menentang imperialisme.”[32]

Islam sejati yang ada di masa Nabi Muhammad, Imam Ali dan Imam Husein, merupakan gerakan yang meliputi seluruh dunia untuk menjamin tegaknya keadilan sosial bagi kaum tertindas. Namun Khomeini tidak membiarkan kepemimpinan terkatung-katung di tangan “para pemikir tercerahkan” seperti yang dikehendaki Syariati,[33] tetapi menyepakati bahwa kepemimpinan itu mestinya berada di tangan anggota-anggota lembaga keagamaan (Wilayah al-Faqih).

Pada 1978 Ayatullah Khomeini berada dalam suatu posisi menguntungkan untuk memainkan peran utama dalam gerakan menentang Syah. Ia menunjukkan kemampuan politiknya dengan mencela seluruh kebobrokan pemerintah dan keberatan-keberatan terhadapnya, sementara tetap mengunci mulut tentang sebagian besar program positifnya. Dalam cara semacam ini, ia mampu menghimpun kelompok-kelompok sekuler atau sayap kiri dan membuat mereka bekerja sama dengan kelompok-kelompok tradisionalis Muslim. Akhirnya pada tanggal 16 Januari 1979, Syah memutuskan angkat kaki, dan pada tanggal 1 Februari, Khomeini kembali ke Iran serta mampu mengambil alih kendali pemerintahan.[34]

Dalam kondisi berkecamuk hampir di seluruh Iran, pada tanggal 11 Februari, angkatan bersenjata mengundurkan diri dan pendukung Khomeini dapat menguasai keadaan. Untuk menjaga stabilitasa dan kepemimpinan Negara, Imam Khomeini mengangkat Mehdi Bazargan sebagai perdana menteri sementara. Kemudian, pada bulan maret, melalui suatu referendum yang tebuka, ternyata Imam Khumaini membuktikan perjuangannya, di mana mayorits rakyat menyetujui gagasan Republik Islam Iran yang akhirnya diproklamasikan oleh Khomeini pada tanggal 1 April 1979, di bawah pimpinan Dewan Revolusi Islam.

Persoalan berikut yang dihadapi adalah bagaimana mengartikan dan melembagakan konsep “Republik Islam”?. Satu kubu, yang termasuk di dalamnya Bazargan, ingin mengembangkan negara sesuai model yang dipakai di kebanyakan negara lain, dengan merujuk kepada Islam sebagai sumber prinsip-prinsip dasar. Kubu kedua mencita-citakan negara yang memberikan kedudukan utama kepada golongan ulama melalui berbagai lembaga khusus. Pada akhirnya, pendapat terakhir yang terwujud dan dijelmakan dalam Undang-Undang Dasar yang disahkan melalui referendum pada bulan Desember 1979.

Undang-Undang Dasar ini, mengadaptasi konsep politik modern dengan mengakui lembaga yang dikenal umum, seperti presiden, kabinet, dan parlemen (Mejelis). Namun, di atas itu semua diciptakan suatu “Dewan Pengawas Konstitusi” dan jabatan vali-yi faqih (wali faqih). Dewan Pengawas Konstitusi berhak memeriksa semua peraturan yang dibuat, demi menjaga keselarasannya dengan syariat dan konstitusi Iran, serta memvetonya jika tidak sesuai. Wali Faqih menjadi pemimpin utama, yang berkuasa penuh terhadap Republik Islam Iran. Semua pengangkatan sipil, militer, kehakiman dan keagamaan, di bawah komandonya. Konstitusi juga menentukan bahwa semua undang-undang dan peraturan harus berdasarakan asas Islam dan pemerintah serta angkatan bersenjata berkewajiban menyebarkan “kedaulatan hukum Allah” di seluruh dunia.

Bukan hanya lembaga tradisional dalam sistem pemerintahan yang diberikan penggandaan berupa berbagai lembaga yang harus menjamin keabsahan islami dalam keputusan dan kebijakannya, lembaga-lembaga sosial, ekonomi dan keagamaan pun digandakan dengan berbagai lembaga “revolusioner’ (sering disebut bunyat, yaitu yayasan, atau jihad). Yang paling penting di antara lembaga tersebut adalah Sipah-i Pasdaran-i Inqilab-i Islami, lazimnya disingkat Pasdaran, yang menjadi semakin besar dan semakin berpengaruh dalam urusan keamanan dalam dan luar negeri, antara lain dengan memerangi pasukan kelompok oposisi dan pasukan Irak. Angkatan bersenjata yang diwarisi dari rezim terdahulu juga dipertahankan, tetapi berangsur-angsur dibersihkan dari personel yang dianggap tidak mendukung paham revolusi Islam dan dibina ulang berdasarkan nilai revolusi. Untuk itu, sejumlah komisaris keagamaan ditugaskan di dalam angkatan bersenjata. Proses islamisasi serupa dijalankan di kalangan lembaga dan pegawai sipil.[35]

Selama Revolusi Islam Iran ini terjadi sejumlah pergeseran yang penting. Di antaranya, sampai sekitar bulan September 1978, gerakan protes dipimpin orang-orang kelas menengah, baik dari kalangan mahasiswa, ulama, maupun pedagang bazaar. Namun, sejak bulan tersebut, golongan penduduk miskin yang baru di daerah perkotaan menjadi unsur paling menonjol dalam gerakan demonstrasi massa.[36]

Selain itu, Bazargan dan pemerintahannya yang terdiri atas orang-orang dari golongan profesi yang berpaham moderat semakin kehilangan pengaruh dibandingkan dengan Dewan Revolusi Islam. Pada bulan November 1979 pemerintah Bazargan jatuh dan diganti, sedangkan unsur ulama yang radikal juga semakin menonjol dalam Dewan Revolusi Islam. pendudukan Kedutaan Besar Amerika Serikat dan penyanderaan pegawainya (4 November 1979-21 Januari 1981) oleh kelompok radikal menjadi saat penting dalam proses pergeseran prakarsa dari kelompok lebih moderat ke kelompok lebih radikal.

Pemusatan penolakan terhadap dunia luar, khususnya Amerika Serikat merupakan momentum kebencian yang lama terpendam sebagai akibat pengaruh besar Amerika di Iran sejak Perang Dunia II. Satu langkah lagi dalam proses itu adalah pemilihan majelis pada bulan Maret-Mei 1980, yang membawa Hizb-i Jumhur-yi Islami (Partai Republik Islam) ke kekuasaan di parlemen. Parlemen itu terlibat dalam perebutan kekuasaan yang sengit dengan Abulhasan Bani Sadr, yang dipilih sebagai presiden Iran pertama bulan Januari 1980, yang berusaha untuk memulihkan lembaga tradisional dan membatasi peranan lembaga revolusioner. Akhirnya Bani Sadr terpaksa melarikan diri (Juni 1981).

Tidak hanya kelompok moderat, sejumlah ulama tua menentang banyaknya kekerasan, kelompok berhaluan kiri (kelompok yang mengutamakan pembagian kembali sarana produksi dan kekayaan), dan kelompok berpaham sekuler juga disingkirkan dalam periode sampai April 1983. kelompok kiri diwakili oleh Partai Tudeh (Partai Komunis Iran), Fida’iyin-i Khalaq (pecahan dari Tudeh berpaham sekuler), dan Mujahidin-i Khalq yang menggabungkan gagasan Islam reformis dengan gagasan marxis. Perjuangan antara partai dan gerakan berlangsung penuh kekerasan dan menimbulkan banyak korban jiwa, termasuk Ayatullah Muhammad Husaini Bahesyti, pemimpin Partai Republik Islam. Jumlah hukuman mati yang dijatuhkan juga sangat banyak pada periode ini.[37]

Pergeseran pengaruh dan kekuasaan lain yang semakin menonjol pada perkembangan belakangan di Iran, merupakan dampak revolusi yang justru bertentangan dengan salah satu tujuan utamanya: revolusi menimbulkan perkembangan birokrasi negara secara besar-besaran, dan akibatnya, pada periode terakhir kedudukan negara dan aparatnya mengungguli pimpinan spiritual atau korps ulama.[38]

Sejak tahun 1983, pokok perselisihan pendapat utama di Iran menjadi kebijakan luar negeri: apakah pengeksporan revolusi, terutama ke Libanon, dan perang menentang Irak harus diutamakan atau pembangunan dalam negeri, dan kebijakan ekonomi, yaitu apakah Iran memerlukan pembaruan tata kepemilikan tanah dan nasionalisasi secara radikal atau tidak.[39]

Perang dengan Irak, selama delapan tahun (22 September 1980 sampai Juli 1988), semakin memperparah kondisi Iran. Tanpa persenjataan yang memadai, kondisi perekonomian yang buruk, fasilitas umum yang amburadul, tidak menyurutkan langkah Iran untuk tetap berjuang dalam bingkai Republik Islam. Dibalik semua kondisi itu, Pemerintahan Iran, tetap melakukan dukungan baik secara terbuka atau tersembunyi, terhadap sejumlah gerakan pembebasan dari ketertindasan di wilayah-wilyah lainnya, seperti kelompok Sandinista di Nicaragua, African National Congres (ANC- Kongres Nasional Afrika) di Afrika Selatan, dan bahkan Irish Republican Army (IRA – Tentara Republiken Irlandia) di Irlandia Utara.

Dalam bidang ekonomi, setelah 1982, majelis ataupun Dewan Pengawas Undang-Undang Dasar menentang undang-undang mengenai nasionalisasi perdagangan luar negeri dan kepemilikan tanah serta menghentikan pemberlakuan undang-undang dari April 1980 yang membatasi kepemilikan tanah. Perang dan kebijakan ekonomi yang tidak berdasarkan pandangan yang jelas mengakibatkan pendapatan nasional turun sejak revolusi. Hal ini dapat diketahui dengan melihat komposisi penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan masih sekitar 50 persen dengan angka pengangguran mencapai 30 persen. Padahal, Iran kaya dengan minyak dan gas bumi, batu bara, tembaga, bijih besi, timah dan sulfur.

Imam Khomeini meninggal dunia pada 4 Juni 1989 dan Sayid Ali Khamenei dipilih untuk menggantikannya sebagai Wali faqih. Sedangkan Presiden terpilih adalah Ali Akbar Hasyemi Rafsanjani.

Sektor swasta dan hubungan luar negeri menjadi prioritas utama Pemerintahan Rafsanjani untuk pemulihan kembali ekonomi. Kebijakan tersebut dilanjutkan oleh Muhammad Khatami, yang dipilih menjadi Presiden Republik Islam Iran pada bulan Mei 1997 dan sering dianggap sebagai tokoh moderat, yang mendukung keterbukaan budaya dan mendorong hubungan damai dengan pihak mancanegara (Barat).

Pada pemilu tahun 2000, Iran memasuki babak baru dengan sistem multipartai. Sebelumnya, pemilu Iran hanya diikuti tiga kontestan yaitu Majma’e Rouhaniyoun Mobarez, Jame’e Rouhaniyat Mobarez dan Partai Pelaksana Pembangunan.

Pada pemilu tersebut, Mohammad Khatami untuk keduakalinya terpilih menjadi presiden Iran. Kemenangan Khatami dianggap sebagai kemenangan reformasi Iran. Oleh Barat, Khatami dipandang lebih kooperatif dibandingkan para pendahulunya. Ini sangat positif dalam pemulihan hubungan diplomatik kedua belah pihak. Namun Khatami dinilai gagal dalam memulihkan ekonomi Iran. Indikasinya, kurs rial Iran terhadap dolar AS terus melemah. Pada 1980-an, satu dolar AS setara 500 rial Iran. Kini 1.755 rial Iran per dolar AS. Bahkan di pasar gelap, nilainya hanya 8.300 rial per dolar AS.

Demikianlah, makna revolusi Islam tidak terbatas pada Iran, tetapi menimbulkan semangat besar di kalangan luas seluruh dunia Islam. Semangat itu, melewati batas-batas territorial, suku, ras, budaya, bahkan agama. Perbedaan antara Syiah dan Sunni mencair dalam perlawanan di Libanon dan Palestina. Dilain pihak, semangat revolusi tersebut juga menarik perhatian sejumlah Muslim Sunni pada tradisi Syiah dan menjadi salah satu faktor konversinya sejumlah Muslim Sunni ke paham Syiah pada periode terakhir.

Namun di sisi lain, berbagai rezim tradisional di dunia Islam secara umum dan di dunia Arab secara khusus menganggap Republik Islam Iran sebagai ancaman. Itu sebabnya tokoh seperti Raja Husain dari Yordania dan Dinasti Saudi mendukung Irak dalam perang terhadap Iran, dan kelompok yang tertarik pada aspek tertentu dari Islam Syiah dianggap sebagai kelompok subversif di banyak negara di dunia Islam. Di kalangan non-Muslim tertentu, Revolusi Islam Iran memeperkuat citra para muslim sebagai orang fanatik, teroris, dan anti-demokrasi.[40]

KONDISI INTELEKTUAL DAN KEAGAMAAN DI IRAN

Kondisi Intelektual

Telah di akui, bahwa salah satu mercusuar peradaban dunia pra Islam adalah Persia, disamping Yunani, Mesir, India, dan Romawi. Tradisi keilmuan yang menjadi ciri khas sebuah perdaban maju, telah mewarnai masyarakat Persia sehingga saat Islam menjadi agama yang mendominasi di wilayahnya, tradisi keilmuan tersebut tetap terjaga dengan baik. Bahkan, dapat dikatakan, mayoritas intelektual Islam klasik adalah bangsa non Arab yakni Persia.

Jika kita telusuri, perkembangan matang keilmuan Islam di tangan bangsa Persia, selain memang penghargaan mereka terhadap ilmu pengetahuan, adalah daya tarik Islam yang mengedepankan nalar dan pemikiran dengan seabrek argumentasi-argumentasi untuk membuktikan doktrin-doktrinya. Sifat elastisitas namun penuh filter dari ajaran Islam, tidak menafikan pentingnya ilmu pengetahuan, bahkan dengan kreatifitas yang maju, para pemikir Islam telah berhasil memberikan sintesa besar antara nalar dan wahyu yang dalam tradisi-tradisi agama lain, selalu dipandang saling berseberangan. Untuk itu, jika di urut secara kronologis, perkembangan dan kemajuan peradaban Islam dalam ilmu pengetahuan, sulit diidentifikasi dimana puncak kejayaanya. Karena, bagaikan air ia terus mengalir dan senantiasa memperbaharui dirinya dari masa ke masa agar tetap urgen dan tidak ketinggalan zaman.

Dengan demikian, jelaslah bahwa tradisi keilmuan tidak pernah sirna di dunia Islam, terutama di Persia (Iran) hingga kini, di mana beragam disiplin ilmu-ilmu kebanggan Islam yang bersifat akliah maupun naqliyah mendapat tempat yang semestinya. Ini membuktikan bahwa usaha ijtihadis tidak pernah tertutup.

Dalam filsafat misalnya, nalar yang sering di tuduh sesat dan tidak agamis ini pasca serangan al-Ghazali, tetap mendapat tempat di Persia, bahkan mengalami kemajuan yang luar biasa, sehingga bagi sebagian peneliti filsafat yang khas Islami justru baru berkembang beberapa abad kemudian di mana para pemikir Syiah menjadi pelopor utamanya.[41] Diantaranya adalah Suhrawardi (1153-1191 M) yang berhasil membangun aliran baru dalam filsafat yang dikenal dengan Hikmah Isyraqiyah (Illuminatif); kemudian al-Thusi (1201-1274 M), pemikir besar syiah, yang mengkaji nalar filosofis aliran masyaiyyah (Parepatetik) cetusan Abu Ali ibn Sina (980-1037 M). Pada abad yang sama, di wilayah Barat, tepatnya Andalusia, nalar ‘irfani (gnosis) dirumuskan secara kreatif oleh Ibn ‘Arabi (1165-1240 M). Dan puncaknya pada sintesa orisinil dari pemikiran besar sang filosof agung Mulla Sadra[42](979-1050 H/1572-1640 M), yang mencetuskan tradisi filosofis baru yang hingga kini mewarnai dan menjadi anutan resmi filsafat di Persia yang dikenal dengan Hikmah Muta’aliyah (Teosofi Transenden). Atas usahanya tersebut, beliau mendapat gelar Shadr al-Muta’allihin yang berarti Sang Pemimpin Filosof Ketuhanan.

Hikmah Muta’aliyah ini terus disosialisasikan dan dikembangkan oleh para murid Mulla Sadra yang tersebar di berbagai kota, seperti Mulla Muhsin Faidz Kasyani (1007-1091 H), Mulla Abdul Razaq Lahiji (w. 1071 H), Muhammad bin ‘Ali Ridho bin Agha Jhani, dan Mulla Husayn Tankobani (w. 1105 H). Berikutnya adalah Qadhi Said Al-Qommi (w. 1090 H) dan Agha Muhammad Beyd Abadi (w. 1097 H). Menariknya, karena serangan dari beberapa ulama ortodoks terhadap nalar filosofis, para filosof ini kemudian juga mendalami ilmu-ilmu syariat seperti hadits, tafsir, fiqih dan kalam, serta memberikan dasar-dasar pijakan yang kuat bagi pengkajian kalam dari ilmu-ilmu tersebut.[43]

Meskipun memiliki perjalanan panjang, tradisi filsafat Islam di Persia ini, mengalami perkembangan pesat pada saat Dinasti Safawid memerintah (1502 M-1722 M). Aneka aliran pemikiran berkembang dan berpusat di Isfahan sehingga dikenal sebagai mazhab Isfahan, dengan tokohnya adalah Mir Damad (w. 1041 H/1631 M) dan Mir Findiriski (w. 1050 H/1641 M).[44] Inilah cikal bakal, untuk timbulnya suatu sintesa filosofis besar yang dicetuskan Mulla Sadra. Syaifan Nur menyimpulkan dengan menulis :

“Pemikiran filosofis dalam Islam tidak pernah mengalami dekadensi dan membeku setelah invansi mongol. Sampai periode Safawid, kreatifitas intelektual Islam mengalami perkembangan yang begitu pesat dan mencapai kematangannya di kalangan orang-orang Syiah Persia. Pada batas waktu tertentu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa jenis filsafat yang khas Islami justru baru berkembang setelah Ibn Rusyd, bukan sebelumnya.”[45]

Begitu pula dengan pemikiran Kalam, yang telah ditegakkan fondasinya Imam-imam Syiah, dilanjutkan oleh perawi-perawi hadits mereka seperti al-Kulaini, juga terus dikembangkan secara signifikan oleh Nashiruddin at-Thusi (1201-1274 M), ‘Allamah al-Hilli (1250-1325 M), Ibnu Babawaih al-Qummi, dan pemikir lainnya.

Setelah peralihan dari Dinasti Safawid kepada Dinasti Qajar, seorang filosof yang cukup terkenal, Mulla Muhammad Shadiq Ardistani (w. 1134/1721 M) dan muridnya Mulla Hamzah Ghilani (w. 1134 H) menjadi jembatan emas keberlanjutan tradisi keilmuan di Persia. Terutama, saat Ardistani diasingkan dan berlindung di Qum.[46]

Selanjutnya, beberapa filosof besar tercatat sebagai pewaris intelektual Persia, diantaranya Mulla Isma’il Khajui (w. 1173 H/1760 M) di Isfahan, Mulla Ali Nuri (w. 1246 H/1830 M) di Qazwin dan Isfahan, Mulla Ali Zunuzi (w. 1307 H/1890 M) di Teheran, dan tentu saja Mulla Hadi Sabzawari (w. 1878 M) di Kirman dan Masyhad.[47]

Sejak Dinasti Qajar berkuasa (1786-1925 M), tradisi tersebut tetap dan terus berkembang. Teheran secara bertahap meningkat menjadi pusat studi filsafat. Sejumlah guru besar terkenal muncul dan menghiasi dunia pemikiran Islam seperti Mahdi Naraqi, Mulla Muhammad Kazhim Khorasani, Mulla Muhammad Kazhim Sabzewari, Mulla Muhammad Reza Sabzewari, Mulla Muhammad Shadiq Shabagh Sabzewari, Syekh Ali Fadhil Tibti, Mulla Muhammad Shadiq Hakim, Mirza Hakim Abbas Darabi, Mirza Muhammad Yazdi, Mulla Ghulam Husein, dan banyak lagi tokoh lainnya. Di akhir priode Dinasti Qajar hingga Dinasti Pahlevi berkuasa pada tahun 1925 M, kita juga mengenal sederetan pemikir besar yang antara lain seperti Mirza Mahdi Asytiyani (1306-1372 H), Sayyed Muhammad Kazim ‘Assar (1305-1394 H), dan Sayyid Abul Hasan Qazwini (w. 1394 H/1975 M). [48]

Dengan seabrek fakta ini, Seyyed Hossein Nasr[49] meyimpulkan dengan tegas bahwa tradisi keilmuan kaum muslimin tetap terjaga dan bertahan sejak masa klasik hingga kini. Tidak ada bukti kuat bahwa tradisi intelektual Islam tersebut pernah vakum secara keseluruhan di dunia Muslim, meskipun harus diakui terjadi pasang surut perkembangan di beberapa wilayah kekuasaan Islam.

Meskipun begitu, harus diakui bahwa perkembangan ilmu-ilmu Islam mengalami pasang surut antara keilmuan syariat (seperti fiqih dan ushul fiqih) dengan ilmu-ilmu filsafat. Adakalanya nalar filosofis mendapat tempat tertinggi, tetapi ada masanya pula ia tersingkirkan dan diganti oleh nalar syariat. Di akhir Dinasti Qajar dan memasuki Dinasti Pahlevi berkuasa (1925-1979 M), kondisi intelektual di Iran dan Irak lesu dari pemikiran filsafat dan ‘Irfan, Bahkan para ulama syiah ortodoks memandang negative serta menolak pengajaran filsafat di hauzah-hauzah ilmiah, baik di Iran maupun di Irak.[50] Sebagai gantinya, para ulama syiah memuliakan ilmu fiqih dan ushul fiqih untuk mencapai gelar mujtahid.

Kondisi ini disikapi secara serius oleh ‘Allamah Thabathaba’i. Ia berjuang keras mengembalikan filsafat kepada singgasananya. Usaha ini mendapat respon keras dari sebagian ulama, termasuk Ayatullah Burujerdi, seorang marja taklid yang paling berpengaruh saat itu. Namun, dengan segala kegigihannya, Allamah Thabthabai berhasil meluluhkan perlawanan mereka dan membuktikan pentingnya kembali di ajarkan filsafat di hauzah-hauzah ilmiah syiah. Bahkan, kegigihannya mengajarkan filsafat ini, menjadi alasan kuat mengapa Allamah Thabathabi tidak menjadi marja’.

Usaha mulia sang Allamah dari Tabriz ini, tidaklah kosong dari harapan. Sinar keberhasilan mulai tampak dengan besarnya minat para generasi muda untuk belajar filsafat di samping ilmu-ilmu istinbath hukum, sehingga generasi pasca Allamah Thabthabai, lahir para ulama-ulama besar yang bergelar mujtahid atau Ayatullah dalam penyimpulan hukum Islam, tetapi mahir pula berbicara filsafat dan ‘irfan. Bahkan Jika kita mengamati dialektika ilmu-ilmu syariat dengan filsafat, maka belakangan ini terjadi perubahan menarik, bahwa keduanya telah saling isi dan mempengaruhi. Ilmu ushul fiqh, misalnya, dalam perkembangan terakhir, telah diwarnai oleh pemikiran filsafat sebagaimana terlihat dari gagasan revolusioner Muhammad Baqir Shadr dengan karyanya yang berjudul ‘al-Halaqat’. Hal yang sama pun terjadi pula pada kajian tafsir, yang juga turut diwarnai filsafat dan gnostik, sebagaimana yang terlihat dari kitab ‘Mizan fi Tafsir al-Quran’ karya ‘Allamah Thabathaba’i.

Selain Allamah Thabathabai, tidak pula bisa dilepaskan peran Imam Khumaini, dalam menyebarkan gagasan-gagasan filosofis dan irfanis. Menariknya, kajian-kajian filsafat mereka tidak bercorak sama. Mehdi Ha’iri Yazdi menerangkan bahwa kuliah ‘Allamah Thabathaba’i cenderung bernuansa rasional. Sedangkan kuliah Imam Khomeini yang cenderung bernuansa gnostik.[51]

Buah dari usaha tersebut adalah sederetan tokoh kaliber dunia yang diakui seperti Ayatullah Ali Khamene’i, Ayatullah Murtadha Muthahhari, Ayatullah Behesyti, Ayatullah Behjat, Ayatullah Montazeri, Ayatullah Ja’far Subhani, Ayatullah Nasir Makarim Syirazi, Ayatullah Jalaluddin Asytiyani, Ayatullah Mehdi Ha’eri Yazdi, Ayatullah Taqi Misbah Yazdi, Ayatullah Fadhel Lankarani, Ayatullah Musawi Ardabeli, Ayatullah Ibrahim Amini, Ayatullah Hasan Zadeh Amoli, Ayatullah Jawadi Amoli, dan banyak lagi lainya. Mereka inilah yang hingga saat ini menjadi pewaris tradisi keilmuan di Iran.

Menariknya, pada saat ini, kekayaan tradisi keilmuan Iran juga di masuki oleh pemikiran-pemikiran komparatif ilmu-ilmu modern dan filsafat Barat. Materialisme, eksistensialisme, marxisme, positvisme, dan beberapa aliran pemikiran Barat lainnya mulai diulas dan dikomentari serta dikritisi oleh para mullah ini. Sehingga tidaklah menjadi asing di tanah Iran untuk mengutarakan pikiran-pikiran seperti Sartre, Immanuel Kant, Descartes, Charles Darwin, Betrand Russel, Thomas Aquinas, Fransisco Bacon, bahkan Karl Marx atau Nitszhe, dan lainnya.

Perkembangan ini mempengaruhi gambaran dan penjabaran pengajaran filsafat di Iran. Ini terlihat dari penulisan buku-buku yang dijadikan pegangan resmi para pelajar. Menurut Muhsin Labib, penulisan buku-buku filsafat di Qom pada umumnya mengikuti dua pola. Pertama, pola tradisional, yang umumnya merupakan buku pelajaran sehingga kitab tersebut ditulis cukup sistematis dan runtut. Contohnya kitab Bidayatul Hikmah dan Nihayatul Hikmah maha karya ‘Allamah Thabathaba’i. Kedua, pola modern, yaitu menulis buku filsafat Islam sekaligus mencoba membandingkannya dengan filsafat Barat, misalnya kitab Ushul Falsafah Wa Realism karya ‘Allamah Thabathaba’i dan kitab al-Manhaj al-Jadid karya Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi.[52]

Dengan demikian, pada masa kini, selain perkembangan fiqih dan ushul fiqih untuk mendidik para calon mujtahid, maka filsafat pun telah mendapat terhormat dan menjadi bagian pelajaran penting di seluruh hauzah-hauzah yang tersebar di Iran. Dengan begitu, setiap pelajar agama di hawzah tidak hanya berpeluang untuk menjadi mujtahid tetapi juga berpotensi menjadi filosof kawakan.

Untuk lebih jauh mengetahui bagaimana tradisi keilmuan di Iran, Muhsin Labib memetakan enam corak pemikiran yang mewarnai Iran.[53]

1. Rasionalisme-Tekstualisme. Corak Ini cenderung menjadikan rasio sebagai dasar pemikiran, yang kemudian mengaitkannya dengan teks-teks agama sebagai pembenarnya. Tokohnya antara lain Ayatullah Murtadha Muthahhari dan Ayatullah Muhammad Taqi Ja’fari.
2. Tekstualisme-Rasionalisme. Corak ini sebaliknya menjadikan teks-teks agama sebagai postulat dan menjadikan rasio sebagai alat pendampingnya. Tokohnya adalah Ayatullah Nashir Makarim Syirazi dan Ayatullah Ja’far Subhani.
3. Tekstualisme–Rasionalisme–Teosofisme. Ini merupakan corak pemikiran yang menggabungkan rasio, teks-teks agama dan ‘irfan. Tokohnya adalah Ayatullah Jawadi Amuli.
4. Teosofisme. Aliran ini mengutamakan ‘irfan dalam memahami realitas. Tokohnya adalah Ayatullah Hasan Zadeh Amuli.
5. Rasionalisme-Modernisme. Pemikiran ini diisi oleh sejumlah filosof yang terdidik secara modern dan pernah berguru kepada ‘Allamah Thabathaba’i seperti Ayatullah Mehdi Ha’eri Yazdi dan Seyyed Hossein Nasr.
6. Neo-Parapatetisme. Ini adalah aliran yang secara metodologis hampir sama dengan pemikiran Ibn Sina. Sebab, aliran ini sering mengandalkan deduksi dalam telaahannya. Salah satu tokohnya adalah Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi.[54]

Sedangkan, berkaitan dengan perkembangan Sadraisme (pengaruh tradisi filsafat Mulla Sadra), pada saat ini pemikir-pemikir Iran terbagi atas beberapa kelompok. Pertama, kelompok mediator murni filsafat Mulla Shadra. Kelompok ini hanya mengajarkan dan menguraikan pandangan Sadra tanpa melakukan penambahan dan kritik. Kelompok ini seperti Ayatullah Hasan Zadeh Amuli. Kedua, kelompok kritikus Sadra. Kelompok ini mengkritisi sebagian argumen Mulla Shadra dan sistematika bukunya, terutama tentang pola pembagian dan pengurutan sub-tema. Filosof yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah Ayatullah Jawadi Amuli. Dan ketiga, kelompok pembaharu. Yaitu kelompok yang melakukan kritik dan berusaha mengubah sebagian struktur bangunan filsafat dengan menawarkan sistematika baru dalam penyajian dan pengajaran filsafat Islam. Kelompok ini dipelopori oleh Ayatullah Muhammad Taqi Mizbah Yazdi. Meskipun demikian, ketiga kelompok ini menyepakati tema-tema yang merupakan prinsip utama dalam Mazhab Qum.[55]

Jika kita cermati, salah satu kelebihan syiah adalah doktrin keterbukaan pintu ijtihad dan keharusan adanya faqih dalam setiap masa, sehingga membuat komunitas ini senantiasa berusaha dengan semaksimal mungkin menciptakan situasi dan kondisi yang mendukung tumbuh suburnya tradisi keilmuan sebagai sayarat penting melahirkan para faqih dan ulama-ulama yang mumpuni dalam Islam.

Kondisi Keagamaan

Dalam strata sosial-keagamaan masyarakat Islam syiah terbagi pada tiga golongan, yaitu: pertama, strata elit yang disebut mujtahid. Kedua, strata menengah yang disebut muhtath, dan ketiga, strata awam yang disebut muqallid.

Mujtahid adalah orang yang memiliki kemampuan berijtihad. Yaitu pribadi-pribadi yang memiliki kemampuan untuk mengistinbath (mengeluarkan) syariat Islam dari sumber-sumbernya yang asli (al-Quran, sunnah, ijma dan akal). Dalam konsep Syiah, ijtihad selalu terbuka, tetapi tidak semua orang dipandang mampu melakukannya. Orang yang tidak mampu inilah yang disebut Para muqallid, yaitu masyarakat umum yang tidak memiliki kompetensi secara intelektual maupun keagamaan untuk menemukan hukum-hukum Tuhan dari sumbernya sebagai sarana untuk pengabdian dalam ibadah kepada Allah swt. Karenaya para muqallid adalah orang yang tidak mampu berijtihad, maka harus menyerahkan urusannya kepada ulama mujtahid yang disebut marja’. Kepada marja’, mereka bukan saja menyerahkan keputusan-keputusan agama, melainkan juga memberikan zakat dan khumus. Tetapi, kalau ulama itu cacat atau bersalah, umat dengan serentak akan meningggalkan ulama tersebut. Sistem ini melahirkan ulama yang secara alami terseleksi, bebas dari penguasa, dan berakar di masyarakat. Adapun muhtath adalah lapisan tengah yang memilki kemampuan untuk memilih dan memilah pandangan para mujtahid (marja’).

Seorang alim yang memenuhi kriteria-kriteria dalam konsep Wilayah al-Faqih biasanya menjadi marja’`i taqlid yang bergelar mujtahid atau yang lebih popular dengan sebutan Ayatullah. Kepada merekalah, masyarakat umum bertaklid dalam urusan ibadah praktis individual mereka. Konsep taqlid secara umum diterjemahkan sebagai “peniruan atau pengikutan” lebih tepat lagi bermakna bertindak selaras dengan aturan-aturan yang ditetapkan mujtahid yag telah dipilih seeorang untuk ditiru atau diikuti. Kandungan konsep ini dirumuskan secara panjang lebar oleh Murtadha Ansari, dan pemikirannya membentuk pijakan bagi strukturisasi dan organisasi lembaga keagamaan dalam penjenjangan tidak resmi.

Terkadang terdapat “sumber taklid” tertinggi pada puncak piramid. Penjenjangan ini tercapai lewat sejenis kesepakatan tidak resmi dan alami. Kekuatan para ulama semakin menguat pada 1978 dan pasca revolusi Iran pada 1979, yang mana dewan ulama memiliki suatu lembaga sangat kuat yang dapat menyebarkan pemikiran dan perintah mereka dengan cepat ke seluruh negeri.[56]

Dengan berkembangnya kekuasaan lembaga keagamaan, timbul suatu perdebatan sampai sejauh mana ijtihad dibolehkan, yakni apakah dalam suatu situasi baru ulama pada masa itu bisa menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam suatu cara yang baru? Menjelang tahun 1600 suatu mazhab hukum terbentuk dan menghendaki pembatasan hak melakukan penyesuaian baru syariah dan mewajibkan ulama hanya mengikuti putusan-putusan para Imam seperti yang terdapat dalam laporan-laporan yang diriwayatkan dari mereka. Mazhab ini dikenal sebagai mazhab Akhbari, dan berpengaruh pada masa keruntuhan dinasti Safawi (1722) dan di sebagian besar abad ke-18.[57]

Periode sejak kejatuhan dinasti Safawi hingga berkuasanya dinasti Qajar pada penghujung abad ke-18 merupakan masa yang sulit bagi ulama Syiah Imamiyah, karena Iran menjadi sasaran para penyerbu dan penguasa Afghan yang sebagian besarnya bersimpati kepada Sunni dan mencabut beberapa hak istimewa ulama Imamiyah. Namun dipenghujung abad ke-18, suatu mazhab muncul di kalangan Syiah Imamiyah Irak yang dikenal sebagai mazhab Ushuli. Mazhab ini memandang bahwa ulama-ulama tertentu memiliki hak ijtihad, dan bahwa kaum Muslim awam mesti meniru atau mengikuti keputusan-keputusan para mujtahid maupun keputusan para Imam; bahkan setiap Muslim harus memilih seorang mujtahid untuk di-taklid-i. Di bawah Syah-Syah Qajar, mazhab ushuli sangat berpengaruh, dan ulama memperoleh kembali kekuasaan dan hak-hak istimewa yang telah hilang.[58]

Menjelang pertengahan abad ke-19 perkembangan lebih lanjut terjadi. Disadari bahwa seorang mujtahid bisa saja lebih baik dan terpelajar dari lainya dan karena itu lebih layak untuk ditiru atau diikuti. Dari kesadaran inilah muncul gagasan bahwa seharusnya terdapat “sumber taklid” (marja’`-e taqlid) tunggal yang memiliki kewenangan untuk memberikan pandangan-pandangan hukum resmi (fatwa) yang mengikat bagi seluruh pengikut Imamiyah. Marja‘-e taqlid pertama yang diterima secara luas – meski tidak secara universal – adalah Syeikh Muhammad Hasan yang tinggal di Najaf, Irak dan meninggal pada 1850. Dilanjutkan oleh seorang Iran, Murtadha Ansari (1800-1864), yang secara umum lebih diakui. Sejak wafatnya “sumber taklid” ini, tidak selalu terdapat marja’ tunggal – terakhir adalah Ayatullah Borujerdi yang meninggal pada 1961 – tetapi terkadang sekelompok ulama senior secara bersama-sama diakui sebagai “sumber-sumber taklid”.[59]

Demi memenuhi tuntutan pengkaderan ulama, maka masyarakat dan ulama-ulama syiah berinisiatif mengembangkan pusat pendidikan tradisional yang dikenal dengan hauzah yang dipusatkan dibeberapa kota suci tertentu seperti Qum dan Masyhad di Iran, serta hauzah Najaf dan hauzah Karbala di Irak. Sejak Revolusi Islam, posisi hauzah semakin kuat, bahkan para ulama yang membawahi pusat-pusat hauzah ini tergabung dalam suatu badan yang disebut Majma al-Mudarrisin. Dengan perannya yang dominant tersebut, maka ulama memiliki kekuatan ideologis ditengah masyarakat sekaligus memiliki kekuatan mobilisasi sosial yang luar biasa yang dapat berimbas pada dimensi politik, ekonomi, pertahanan, dan keamanan.[60]

Menjadi faqih bukanlah pemberian gratis ilahiah, melainkan usaha ikhtiari yang penuh perjuangan dan pengorbanan untuk mengembangkan seluruh potensi kemanusiaan, baik itu pada dimensi keilmuan, keterampilan, maupun kepribadian. Karenanya, program pendidikan yang sitematis dan integratif diperlukan untuk memberikan sarana bagi terciptanya pribadi unggul dalam komunitas Islam.

Tiga level, atau periode-periode (halaqat), diperlukan seorang calon mujtahid syiah untuk menuntaskan studinya. Tidak ada ujian ataupun batas waktu tertentu untuk menyelesaikan pelajaran. Tujuan para pelajar sangat jelas, ia harus memperoleh pelajaran yang cukup untuk menjadi seorang mujtahid, sebuah gelar “yang hanya dicapai oleh pelajar-pelajar yang paling cemerlang”. Rata-rata, dua periode kombinasi pertama memerlukan minimal waktu selama 10 tahun. Para pelajar memulainya pada usia muda, secara umum di antara 14 hingga 20 tahun.[61]

Pada level pertama disebut muqaddimah; para siswa mempelajari tata bahasa, tata kalimat (sintaksis), retorika dan logika. Dalam bidang tata bahasa di antaranya adalah karya Ibnu Hisyam (w. 761/1360) Qatrh al-Nida dan al-Ajurumiyah, sebagai ringkasan dari karya Ibnu Malik (w. 672/1273) Alfiah. Dalam bidang retorika di antaranya adalah karya Taftazani (w. 686/1287) al-Muthawwal dan al-Mukhtashar, dan Jawahir al-Balaghah karya al-Hisyam dari abad ke-14. Dalam logika, para siswa membaca Hasyiah karya Najafi (w. 981/1574), dan Syamsiyyah karya Quthb al-Din al-Razi. Dalam Ushul al-Fiqh, digunakan kitab Ma‘alim karya Hasan ibn al-Syahid al-Tsani (w. 966/1559), kitab Ushul al-Istinbath karya Haidari, dan karya Muhammad Baqir al-Shadr, al-Ma‘alim al-Jadida. Dalam Fiqh, digunakan tulisan al-‘Allamah al-Hilli (w. 726/1325) Tabsyirah dan Mukhtasar al-Naf, tulisan Muhammad Khazim al-Thabathaba‘i (w. 1337/1919) al-‘Urwah al-Wutsqa, dan karya Muhsin al-Hakim (w. 1970) Minhaj al-Shalihin.[62]

Periode kedua disebut suthuh. Selain ushul al-fiqh, dalam jenjang suthuh juga diperkenalkan studi substansi fiqih (yurisprudensi) deduktif (al-fiqh al-istidlal). Secara umum, kursus-kursus diselenggarakan berbentuk tutorial yang melibatkan 7 hingga 10 siswa, jarang-jarang lebih dari 20 orang, sesi-sesi berakhir antara setengah jam hingga satu jam. Para siswa yang absen berulang-ulang atau yang tampaknya tidak mampu melanjutkan kelas berikutnya disarankan untuk mengundurkan diri, atau kembali pada kelas yang lebih mudah. Shutuh membutuhkan tiga hingga lima tahun, terkadang lebih lama lagi. Pada akhir periode tersebut, para siswa akan dipertimbangkan sebagai seorang murahiq, yang bermakna “dewasa”. Gelar ini menunjukkan batas kemampuannya pada kedewasaan yang dituntut untuk berijtihad.[63]

Para guru, seperti juga buku-buku, bisa dipilih dengan bebas oleh para siswa, yang membiasakan dirinya sendiri dengan kalam, filsafat, tafsir, hadis, seperti halnya hukum dan ushul. Buku-buku yang digunakan dalam tahap ini, dalam fiqih adalah karya al-Sayyid al-Tsani Syarh al-Luma‘ al-Dimasyqiyyah dan Masalik al-Iljam, serta Makasib karya al-Anshari (w. 1329/1911). Dalam ushul, para siswa membaca karya-karya al-Qummi (w. 1231/1816) Qawanin, tulisan Muhammad Kazim al-Khurasani (w. 1328/1910) Kifayat, dan Rasa‘il karya al-Ansari.[64]

Periode ketiga dan paling menentukan disebut bahtsul kharij. Sistemnya, para siswa memilih untuk menghadiri kuliah-kuliah umum dari para mujtahid paling terkemuka, yang memimpin diskusi-diskusi mereka sebagaimana perkuliahan dan seminar disusun dalam suatu seri (daurah), meliputi sebuah periode berbilang bulan dan tahun. Kelas-kelas tersebut, tergantung pada keunggulan sang guru, didapati tidak hanya oleh para murahiq, tetapi juga oleh mujtahid-mujtahid yang lain. Diskusi berlangsung bebas dalam kelas, namun kuliah-kuliahnya pada umumnya sangat rumit, dan kerap membuahkan hasil berupa rangkaian buku-buku yang disusun oleh para siswa dan terkadang bahkan dipublikasikan.

Muhammad Bahr Al-Ulum menerangkan tiga derajat dalam baths al-kharij. Pada derajat pertama, yang dibentuk oleh para murid yang baru saja melengkapi studi suthuh, seseorang biasanya memaparkan suatu risalah legal dalam suatu perlakuan umum, tanpa memperdebatkan atau mempertahankan logika sekuensial naskah tersebut, dan menambahkan uraian-uaraian dari ulama lain. Sang guru, dengan demikian, akan melatih para muridnya logika dari pekerjaan yang diberikan, sekaligus pada waktu yang sama memperkenalkan mereka dengan metodenya sendiri.

Pada tahap baths al-kharij kedua, eksposisi dilakukan lebih seksama. Sebagai contoh, bagian kedua dari Kifayah karya Al-Khurasani dapat memberikan jalan bagi analisis yang panjang, yang diberi tambahan oleh Murtadha Al-Anshari dengan karyanya Rasa’il, masih ditambah pula dengan uraian-uraian Muhammad Husain Naini (w.1936). Naskah-naskah dengan demikian dipresentasikan, didiskusikan, dan guru sendiri yang akan memilih interpretasi-interpretasi yang paling menyakinkan.

Tahap ketiga, yang merupakan bagian paling maju dari kurikulum, seperti dapat diperhatikan, sang guru pada tingkat ketiga ini mutlak bebas untuk merencanakan kursusnya sendiri, memilih argumen-argumen yang disukainya, dan berakhir dengan sebuah opini baru, dan dengan pendekatan yang matang yang akan sangat berbeda dengan pendahulu-pendahulunya.[65]

Dengan menyelesaikan ketiga jenjang pendidikan tersebut, maka seorang pelajar telah menyematkan kompetensi yang diakui. Dalam kondisi ini, ia telah siap untuk berjuang dan berkarya secara kreatif mengiplementasikan keilmuan untuk diuji riruang terbuka masyarakat syiah. Di sini, ia bergerak menuju hirarki terhormat para ulama, mujtahid, dan marja’.

Terdapat dua sifat khusus Islam Syiah yang baru berkembang belakangan, yaitu adanya korps teratur dan tersusun dari ahli agama (ulama dan fukaha) dan peranan golongan itu dalam percaturan politik secara umum dan revolusi 1979 secara khusus.

Syiah memiliki lembaga yang bisa menentukan siapa yang paling terpelajar, siapa Muslim terbaik, dan siapa pemandu spiritualnya. Dengan adanya otoritas keagamaan tertinggi dalam Syiah, otoritas ini juga harus memegang kekuasaan tertinggi.

Kecenderungan umum menunjukkan, hierarki di dalam mujtahid-mujtahid merefleksikan tahap-tahap awal masa pengajaran. Murid-murid yang bangkit melewati beragam tahap masa pengajaran melalui sebuah proses yang terutama berdasar pada beraneka kriteria yang mengakui bakat/kecerdasan untuk berijtihad didasarkan pada reputasi dan pengakuan (atasnya). Sebagaimana dengan murahik menuju mujtahid, demikian pula dengan pendakian dari mujtahid rendah ke tingkat yang lebih tinggi: sang mujtahid naik melalui hierarki marja‘ìyyah lewat suatu proses yang mengombinasikan perkuliahan, seminar-seminar, dan publikasi-publikasi dalam bidang fiqih, sebagaimana pengembangan penerimaan dan dukungan dari para muqallid secara luas.[66]

Reputasi juga bermakna bahwa sebuah perbedaan dapat dilihat di antara seorang mujtahid yang sukses dan “sesungguhnya benar”, dengan ulama yang tidak begitu brilian dan kompoten dibandingkan dirinya. Ini direfleksikan dalam gelar-gelar yang dianugerahkan pada sang mujtahid, seperti Ayatullah, Hujjah al-Islam, Tsiqat Allah.[67]

Dengan demikian, untuk mendapatkan pemimpin yang diakui tertinggi tersebut “luar biasa sulit”. Berbagai proses di bawah ini diterangkan sebagai suatu tangga pengakuan, dengan tiga level:

1. Pada dasar tangga, pilihan bebas para muqallid, yang memilih seorang mujtahid di antara pilihan lainnya dengan menyediakan dukungan, baik dalam jumlah besar (kian banyak jumlah muqallid, kian besar reputasi sang mujtahid) dan dalam intensitas taqlid mereka (yang intensitasnya dievaluasi oleh dukungan finansial dan pengabdian religius.
2. “orang-orang yang berpenglihatan”, yaitu mereka yang, setelah melalui praktik panjang akan mengangkat seorang mujtahid menuju pada a‘lamiyya.
3. pengakuan Ayatullah-ayatullah yang telah ada. Prosesnya panjang, rumit dan tidak pasti. Mekanismenya adalah, seperti dalam kasus akses ber-ijtihad seorang ‘alim yang tengah menempuh pendidikannya, bergantung pada tujuan reputasi yang samar-samar.

[1] Keterangan tentang Iran ini banyak disadur dari ensiklopedi Britannica dan dari internet http// Id.wikepedia.org.

[2] Media (Dalam Bahasa Kurdi disebut Medya, Mêdî atau Mad; dan dalam Bahasa Persia, Mādḥā) adalah suku Iran purba yang tingal di kawasan Teheran, Hamedan, Azarbaijan, Provinsi Isfahan Utara dan Zanjan. Bangsa ini juga dikenal sebagai Medea oleh orang Yunani. Pada abad ke-6 SM, bangsa Media berhasil meluaskan kekaisaran mereka dari Arran (Azerbaijan) hingga ke Asia Tengah dan Afghanistan. Medes telah dinyatakan sebagai pendiri negara dan kekaisaran Iran/Persia, Kekaisaran Media ini berlangsung sejak 728-550 SM.

[3] Cyrus Agung merupakan pendiri Kekaisaran Achaemenid (648–330 SM). Salah satu gagasan monumental Cyrus Agung adalah membuat undang-undang mengenai hak-hak kemanusiaan, yang ditulis di atas artefak yang dikenal sebagai Silinder Cyrus. Ia juga merupakan raja pertama yang memakai gelar Agung dan juga Shah Iran. Pada masa kepemimpinannya, di daerah-daerah taklukannya dilarang perbudakan. Gagasan ini kemudian memberi dampak yang besar pada peradaban-peradaban manusia setelah zamannya
[4]Kekaisaran Parthia bermula dengan Dinasti Arsacida yang menyatukan dan memerintah dataran tinggi Iran, yang juga turut menaklukkan wilayah timur Yunani pada awal abad ketiga Masehi dan juga Mesopotamia antara tahun 150 SM dan 224 M. Kekaisaran Parthia juga merupakan musuh bebuyutan Romawi di sebelah timur, dan membatasi bahaya Romawi di Anatolia. Kekaisaran Parthia tegak selama lima abad (Berakhir pada tahun 224 M,) dan raja terakhirnya kalah di tangan kekaisaran lindungannya, yaitu Sassania.

[5] Kekaisaran Sasanid didirikan oleh Ardashir I yang kemudian menjadi Syah atau rajanya yang pertama. Wilayahnya meliputi kawasan Iran modern, Irak, Suriah, Pakistan, Asia Tengah dan wilayah Arab. Pada zaman Khosrau II (590-628) pula, kekaisaran ini diperluas hingga Mesir, Yordania, Palestina, dan Lebanon. Orang-orang Sassanid menamakan kekaisaran mereka Erānshahr (atau Iranshæhr, “Penguasaan Orang Arya”).

[6] Dalam sejarah masuknya Islam ke Persia di awali, dengan peperangan al-Qādisiyyah (632 M) di Hilla, Iraq. Pasukan Sassanid dipimpin Jenderal Rostam Farrokhzād mengalami kekalahan dan akhirnya ini memberi jalan masuk pasukan Islam atas Persia. Pengaruh dan kebudayaan Persia kemudian diteruskan setelah pemelukan Islam oleh bangsa Persia. Dinasti Islam bertahan sekitan tujuh abad lamanya (640-1400 M)

[7] Nama Iran diambil dari nama ras kebanggaan Syah Iran yaitu Arya, sehingga bermakna ‘tanah Bangsa Arya’.

[8] Menurut Seyyed Hossein Nasr persentasi syiah di dunia bukan 8 %, tapi mencapai 13 %. Beberapa negara berpenduduk mayoritas syiah seperti Iran (90 %), Irak (70 %), Azerbaijan, Bahrain, dan Libanon. Sementara India, Pakistan, Afghanistan, Suriah, Arab Saudi, Turki, negara-negara Teluk Persia dan Afrika Timur, Asia Tengah, termasuk Indonesia, syiah menjadi minoritas. Lihat Seyyed Hossein Nasr. The Heart of Islam: Pesan-pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan. (Bandung: Mizan, 2003), h.79. Nasir Tamara, Agama dan Revolusi di Iran: Peranan Aliran Syiah sebagai Ideologi Revolusi. dalam Al-Chaidar. ed. Islam, Fundamentalisme & Ideologi Revolusi. (Madani Press, 2000), h. 45.

[9] William Mongomery Watt. Fundamentalisme Islam dan Modernitas. Terj. Taufiq Adnan Amal. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 263. Bandingkan dengan Olivier Roy. Gagalnya Islam Politik. (Jakarta: Serambi, 1992), h. 211-212.

[10] Disarikan dari Sayid Muhammad al-Musawi. Mazhab Syiah. (Bandung: Muthahhari Press, 2005), h. 63-65.

[11] Untuk mengetahui sejarah Iran pra abad keenam belas dapat dibaca dalam Vladinir Minorski. Iran: Oposisi, Kesyahidan dan Pemberontakan. dalam Gustave L. Von Grunebaum. Islam Kesatuan Dalam Keragaman. (Jakarta: Karya Unipres, 1975), h. 211-237.

[12] Oliver Roy. Gagalnya, h. 210-211.

[13] John L. Esposito. Ancaman Islam: Mitos atau Realitas. Terj. Alwiyah Abdurrahman. (Bandung: Mizan, 1995), h. 114. Dilip Hiro. Iran Under the Ayatollahs. (New York: Routledge Kegan Paul Inc. in association with Methuen Inch, 1987), h. 15.

[14] Ada beberapa faktor yang menyebabkan ulama Syiah lebih mandiri, diantaranya: Pertama, pengelolaan zakat dan khumus (bagian seperlima dari pendapatan tertentu) umat secara langsung oleh para mujtahid dari. Zakat itu digunakan untuk membiayai banyak lembaga dan pelayanan luas dalam bidang pendidikan dan sosial. Sistem zakat dan khumus serta wakaf juga menjamin otonomi keuangan, dan karena itu menjadi otonomi politik dari para ulama terhadap penguasa negara. Kedua, hierarki dan kekuasaan ulamanya lintas geografis, artinya tidak terbatas pada wilayah Iran saja.

[15] William Montgomery Watt. Fundamentalisme, h. 264

[16] William Montgomery Watt. Fundamentalisme, h. 264.

[17] Disadur dari ensiklopedi Britannica dan dari internet http// Id.wikepedia.org.

[18] Azyumardi Azra. Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme. (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 67.

[19] Tentang kehidupan dan pemikiran politik Ali Syariati dapat dilihat dalam Ali Rahnema. Ali Syariati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner (Jakarta: Erlangga, 2002).

[20] Salah satu gaya penulisan Syariati adalah sebagai berikut: “Kemudian Isa (as) muncul. Ia menghapuskan agama Yahudi dan menggulingkan kekaisaran Romawi. Namun kaisar mengubah namanya menjadi Paus, para rabbi Yahudi digantikan dengan pendeta-pendeta Kristen, para senator Romawi yang lama menjadi pendeta dan kardinal-kardinal Vatikan, tempat tersebut dinamakan gereja dan Jupiter berperilaku seperti Isa.” Yang ditandaskan Syariati di sini adalah bahwa sekalipun terjadi perubahan besar-besaran dalam nama-nama dan gagasan-gagasan, namun pemegang-pemegang kekuasaan tetap berkuasa; dan barangkali yang terutama ada dalam benaknya adalah lembaga keagamaan Iran yang dipandangnya tidak mampu bertindak efektif menentang penindasan. Ia menyadari bahwa seluruh gerakan pembebasan di dunia berjuang menentang penindas-penindas kolonialis dan neo kolonialis yang sama. Ia memandang bahwa Islam sejati terikat untuk menegakkan keadilan sosial dengan jalan menentang seluruh bentuk kekuatan yang menindas; dan ia memberi pijakan islami untuk gagasannya ini dengan menggunakan istilah al-Qur’an “yang tertindas” (mustad’afin) serta dengan menyeru kaum muslimin mengemban tugas tradisionalnya “Amar ma’ruf nahi munkar”, memerintah kebaikan dan mencegah kemungkaran. Lihat: William Montgomery Watt. Fundamentalisme, h. 277-278.

[21] William Montgomery Watt. Fundamentalisme, h. 278.

[22] Ali Rahnema. Ali Syariati, h. 10.

[23] William Montgomery Watt. Fundamentalisme, h. 276.

[24] Revolusi konstitusional adalah desakan untuk melakukan perubahan konstitusi (UUD) di Iran. Hal ini terjadi, karena adanya gagasan bahwa tata negara dan pemerintahan harus didasarkan kepada UUD yang menjamin hak-hak dan martabat warga dan membatasi wewenang kepala negara (pemerintah). Gerakan ini memuncak pada 1905-1906 dan berhasil memaksa Syah menerima UUD yang menciptakan sistem parlementer. UUD tersebut menggabungkan dua tradisi yang berbeda: mengambil UUD revolusi Perancis sebagai model, dan menyatakan Islam sebagai agama resmi, mewajibkan penerapan syariat, dan menciptakan sebuah majelis untuk menilai kesesuaian undang-undang baru dengan syariat.

[25] Protes dan perlawanan terhadap rezim dan tata negara yang mapan dengan merujuk kepada Islam merupakan gejala yang tampak dibanyak negara, terutama dalam bentuk berbagai gerakan yang lazim dicap sebagai “fundamentalis” atau “islamis” pada periode dasawarsa terakhir. Salah satu ciri khas perlawanan tersebut di Iran adalah peran lembaga ulama, sedangkan gerakan perlawanan seperti itu di negara lain biasanya dilakukan oleh orang awam atau bukan ulama. Lihat Seyyed Hossein Nasr. ed. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. (Bandung: Mizan, 2003), h. 29.

[26] William Montgomery Watt. Fundamentalisme, h. 272.

[27] Hamid Enayat. Reaksi Politik Sunni Syiah. (Bandung: Penerbit Pusaka, 1988), h.254.

[28] Hamid Enayat. Reaksi, h. 254.

[29] Hamid Enayat. Reaksi, h. 254.

[30] John L. Esposito. Ancaman, h. 116.

[31] John L. Esposito. Ancaman, h. 117 . dan lihat Dilip Hiro. Iran, h. 30.

[32] William Montgomery Watt. Fundamentalisme, h. 278.

[33] Syariati menolak pandangan tradisional bahwa Muslim awam harus pasif secara politis ketika menanti kedatangan Imam Mahdi. Menurutnya, mereka sebaliknya harus siap mengikuti bimbingan “orang-orang suci yang bersungguh-sungguh dan bertanggung jawab, yang mewakili kepemimpinan Imam” dan berupaya menegakkan keadilan sosial serta pembaruan-pembaruan lainnya. Orang-orang yang dapat memberi bimbingan dalam hal ini bukanlah ulama-ulama resmi – yang dkritiknya secara pedas – tetapi “para pemikir yang tercerahkan” (raufsyanfikr). Ia juga memberikan interpretsi baru tentang dasar kesyahidan Imam Husain. Baginya, ia tidak lagi sekedar perantara yang dapat menolong seseorang memikul beban penderitaan: namun ia adalah panutan agung yang berjuang dan mengorbankan nyawa nya tidak hanya untuk memulihkan kekuasaan keluarga nabi (ahlul Bayt), tetapi juga untuk menegakkan keadilan sosial bagi orang-orang tertindas di seluruh dunia. Lihat: William Montgomery Watt. Fundamentalisme, h. 277-278.

[34] William Montgomery Watt. Fundamentalisme, h. 278.

[35] William Montgomery Watt. Fundamentalisme, h. 31-32.

[36] William Montgomery Watt. Fundamentalisme, h. 32.

[37] William Montgomery Watt. Fundamentalisme, h. 33.

[38] William Montgomery Watt. Fundamentalisme, h. 33.

[39] William Montgomery Watt. Fundamentalisme, h. 33.

[40] William Motgomery Watt. Fundamentalisme, h. 33.

[41] Lihat Syaifan Nur. Filsafat, h 2; lihat juga Seyyed Hossein Nasr. Pengantar, h 22; Seyyed Hossein Nasr. Intelektual, h 69-74. Seyyed Hossein Nasr. Pengantar ke Tradisi, h 56; Jalaluddin Rakhmat. Hikmah Muta’aliyah: Filsafat Islam Pasca Ibn Rusyd, dalam Hasan Bakti Nasution. Hikmah Muta’aliyah: Pengantar Filsafat Islam Kontemporer. (Bandung: Citapustaka Media, 2006), xii-xiv.

[42] Beliau lahir di wilayah Fars (Syiraz), Iran Selatan. Setelah merampungkan studinya di Syiraz dan Isfahan, beliau melakukan latihan ruhani di desa Kahak, dekat kota Qom. Hasil latihan ruhani tersebut telah melahirkan sebuah sistem filsafat Islam yang lebih canggih, yang dikenal dengan Hikmah Muta’aliyah. Beliau pun kemudian mengajarkan filsafatnya tersebut di Syiraz, kampung halamannya hingga wafat pada tahun 1640 M. Filsafatnya merupakan sintesis final antara Masya’iyah, Isyraqiyah, ‘Irfan, dan Kalam. Pada dasarnya, ada tiga prinsip utama yang mendasari pemikiran Mulla Shadra, yang dikenal Hikmah Muta’aliyah ini antara lain: Illuminasi intelektual (kasyf, zauq, atau isyraq), penalaran atau pembuktian rasional (aql, burhan, atau istidlal), dan agama atau wahyu (syar’i atau wahy). Beliau pun telah berhasil mensintesakan antara ketiga prinsip tersebut. Lihat Syaifan Nur. Filsafat, h 5.

[43] Seyyed Hossein Nasr. Intelektual, h 84.

[44] Syaifan Nur. Filsafat, h 32; Seyyed Hossein Nasr, Intelektual, h 77.

[45] Syaifan Nur. Filsafat Wujud Mulla Shadra. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h 7.

[46] Seyyed Hossein Nasr. Intelektual, h 85.

[47] Lebih lanjut nama-nama filosof pewaris intelektual Persia lihat Muhsin Labib. Para Filosof Sebelum dan Sesudah Mulla Shadra. (Jakarta: Lentera, 2005), h. 56.

[48] Muhsin Labib. Filosof, h 56. Menurut Seyyed Hossein Nasr, pada paruh abad ke-20 ini (1950-an), ketertarikan pada filsafat Sadra kembali mengemuka dan terus berlangsung hingga kini terlebih lagi setelah masuknya pemikiran asing dan filsafat Barat mewarnai Persia. Lihat Seyed Hossein Nasr. Intelektual, h. 86.

[49] Baca: Seyyed Hossein Nasr. Intelektual Islam: Teologi, Filsafat dan Gnosis. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996); Sayyed Hossein Nasr. Pengantar ke Tradisi Mistis, dalam Jurnal Al Huda, Vol. II, No. 4, 2001, h 53-59; Seyyed Hossein Nasr. Pengantar, dalam Mehdi Ha’eri Yazdi. Menghadirkan Cahaya Tuhan; Epistemologi Illuminasionis dalam Filsafat Islam. (Bandung: Mizan, 2003), h 21-30; Seyyed Hossein Nasr. Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam. (Yogyakarta: Ircisod, 2005), h 103.

[50] Muhsin Labib. Filosof, h 56.

[51] Muhsin Labib. Hawzah, h 161.

[52] Muhsin Labib. Hawzah, h 162.

[53] Muhsin Labib. Hawzah, h 162.

[54] Muhsin Labib. Hawzah, h. 161-163.

[55] Muhsin Labib. Hawzah, h. 161.

[56] William Montgomery Watt. Fundamentalisme, h. 271. Olivier Roy, Gagalnya, h. 213.

[57] William Motgomery Watt. Fundamentalisme, h. 268-269.

[58] William Montgomery Watt. Fundamentalisme, h. 269. Dilip Hiro, Iran, h. 15-16.

[59] William Motgomery Watt. Fundamentalisme, h. 269.

[60] Lihat Ira Lapidus. Sejarah, h 32-33.

[61] Chibli Mallat. Menyegarkan, h. 65.

[62] Chibli Mallat. Menyegarkan, h. 65.

[63] Chibli Mallat. Menyegarkan, h. 65.

[64] Chibli Mallat. Menyegarkan, h. 65.

[65] Chibli Mallat. Menyegarkan, h. 65.

[66] Chibli Mallat. Menyegarkan, h. 89.

[67] Chibli Mallat. Menyegarkan, h. 89.
Baca Selengkapnya »»  

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes