شرع من قبلنا
A. PENDAHULUAN
Mempelajari ilmu ushul fiqh mempunyai manfaat yang sangat urgen, terutama untuk dapat menjabarkan, memahami dan mentranformasikan maksud nash-nash syariah kedalam suatu format hukum syariat agar sesuai dengan tujuan syari’ (المصالح التي استهدفها الشارع الحكيم). Ilmu ushul fiqh adalah suatu ilmu yang menguraikan tentang metode yang dipakai para imam mujtahid untuk menggali dan menetapkan hukum syar’I dari nash. Artinya ilmu ushul fiqh merupakan kajian metodologis untuk mengambil dan menggeneralisasikan suatu illat dari nash serta cara yang paling tepat untuk penetapannya. Dalam arti lain, ushul fiqh adalah untuk menjembatani antara nushusu syariah yang terbatas dan kejadian-kejadian actual yang tidak terbatas (An-Nushus mutanaahiyah wal waqa’I gahiru mutanaahiyah). Hal ini dimaksudkan agar Al-qur’an dan Hadis dapat melebar (menjawab problematika umat) maka dibuatlah sebuah metodologi.
Dalam literatur ilmu ushul fiqh salah satu permasalahan yang dikaji adalah Metode Syar’u man Qablana (syariat para nabi sebelum Muhammad). Meskipun kepopulerannya setingkat lebih bawah dari pembahasan metode ijma’, istihsan, maslahah mursalah, namun metode ini tak luput juga dari pembahasan dan perdebatan para ulama ushul. Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan dipaparkan beberapa uraian penting seputar problem Metode Syar’u man Qablana. Uraian akan dijabarkan dalam 2 bahasan:
Pembahasan pertama : hakekat metode syar’u man Qablana (ماهية أصل شرع من قبلنا).
Pembahasan kedua : Tingkat keautentikan kedudukan / kehujjahan syar’u man Qablana dalam hukum islam (مدى حجية شرع من قبلنا في الشريعة الإسلامية)
B. HAKEKAT METODE SYAR’U MAN QABLANA (ماهية أصلشرع من قبلنا)
Syaru man Qablana berasal dari kata Syara’a dan Qabl. Kata Syar’u/syir’ah yang berarti harfiahnya syariat merupakan kata jadian dari asal kata Syara’a, pada dasarnya berarti sebuah aliran air, namun dapat berarti pula sebuah agama, hukum syareat. Sesuai dengan firman Allah
لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا
Sedangkan Qablana berarti sebelum Islam, yaitu syariat-syariat yang diturunkan Allah SWT kepada nabi-nabi yang diutus sebelum Muhammad SAW.
Abdul Wahab Khallaf (1978) menyebutkan bahwa syar’u man Qablana adalah berhubungan dengan “mâ syara‘aha Allah liman sabaqana min al-umam” (syari’at yang telah diturunkan Tuhan kepada orang-orang yang telah mendahului Islam (hukum-hukum para Nabi terdahulu). Sedangkan Abu Zahrah (t.t.: 241) membatasi bahwa syari’at-syari’at yang diturunkan tersebut adalah syari’at samawiyyah. Lebih jelas lagi, Zaidan (1998) mengatakan bahwa Syar’u man Qablana adalah “al-ahkam allati syara’aha Allah Ta’ala liman sabaqana min al-umam, wa anzalaha ‘ala anbiyaihi wa rusulihi litablighiha litilka al-umam” (hukum-hukum yang telah disyari’atkan Tuhan kepada umat-umat sebelum Islam yang diturunkan melalui para Nabi dan para Rasul untuk disampaikan kepada seluruh masyarakat pada waktu itu).
Berkaitan dengan posisi syar’u man Qablana, Zuhaili (2001) menyatakan bahwa dengan diutusnya Muhammad sebagai nabi pada tahun 611 Masehi, maka sejak itu pula bahwa syari’at Nabi Muhammad adalah penutup segala syari’at yang diturunkan Tuhan. Kendati demikian, Zuhaili juga mengatakan bahwa keadaan seperti itu masih menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan para ahli usul al-fiqh, khususnya berkaitan dengan keterikatan Nabi Muhammad secara pribadi dengan syari’at sebelumnya dan sesudah ia menjadi Nabi, termasuk pula di dalamnya pengikut-pengikut Nabi Muhammad sampai sekarang.
C. KEHUJJAHAN SYAR”U MAN QABLANA (حجية شرع من قبلنا في الشريعة الإسلامية)
Pembagian syar’u Man Qablana dan contohnya :
Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ulama’ sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat Islam. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Pembagian kedua ini diklasifikasi menjadi tiga :
a. Ajaran agama terdahulu yang telah dihapuskan oleh syariat Islam (dimansukh).
Ajaran agama terdahulu tersebut tidak termasuk syariat agama Islam menurut kesepakatan semua ulama.
Misalnya Q.S. al-An’am ayat 146 yang artinya sebagai berikut :
“Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku. Sedangkan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka, dan sesungguhnya Kami adalah Maha Benar”.
Pesan normatif di atas menceritakan apa yang diharamkan kepada umat Yahudi, namun hal tersebut tidak berlaku bagi umat Islam karena ada ayat lain dalam Alqur’an yang membatalkan ketentuan tersebut. Ayat yang dimaksud adalah Q.S. al-An’am ayat 145 yang terjemahnya sebagai berikut :
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi—karena sesungguhnya semua itu kotor—atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Contoh lain sebagaimana disebutkan dalam Yahya (1993) yang menjelaskan bahwa pada zaman Nabi Musa cara menebus dosa (bertobat) atas kesalahan yang telah dilakukan adalah dengan bunuh diri. Setelah Islam datang, syari’at tersebut kemudian tidak berlaku lagi (mansukh) dengan turunnya ayat pada Q.S. 11: 3 yang artinya sebagai berikut :
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya”.
Berdasarkan pesan dalam ayat di atas, umat Muhammad yang ingin menebus dosa cukup berhenti melakukan perbuatan yang dipandang memiliki konsekuensi dosa dan menyesali perbuatan yang telah dilakukan dengan dibuktikan secara nyata adanya tekad yang terealisasi secara empiris bahwa perbuatan dosa tersebut tidak diulangi lagi. Begitu juga dengan kotoran yang dipandang najis apabila mengenai salah satu pakaian. Dalam syari’at terdahulu pakaian tersebut harus dipotong sesuai dengan bagian pakaian yang kena najis. Namun setelah Islam lahir, kewajiban seperti ini tidak ditetapkan kepada Nabi Muhammad dan umatnya. Kenyataan ini dapat dilihat pada Q.S. 74: 4 (yang artinnya: Dan pakaianmu bersihkanlah).
Berdasarkan ayat-ayat Alqur’an di atas, para ahli usul al-fiqh dapat menentukan dengan mudah bahwa syar’u man Qablana semacam itu sudah tidak berlaku lagi karena telah dibatalkan atau diganti (mansukh) oleh ayat Alqur’an sendiri yang nota bene merupakan syari’at Nabi Muhammad
b. Ajaran yang ditetapkan diwarisi oleh syariat islam. Dianggap syariat Islam melalui al-Qur’an dan al-Sunnah.
Contohnya perintah menjalankan puasa. Pada bentuk kedua ini justru Nabi Muhammad dan umatnya mewarisi dan melanjutkan apa yang telah ditetapkan oleh umat terdahulu. Di antara warisan hukum itu dapat dilihat pada Q.S. 2: 183 yang terjemahnya sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
Warisan lain yang ditetapkan untuk umat Nabi Muhammad adalah perintah berkurban yang sebelumnya pernah diwajibkan kepada Nabi Ibrahim. Ketentuan itu tetap diberlakukan untuk Muhammad dan umatnya berdasarkan pernyataan Nabi Muhammad sendiri melalui sabdanya:
“Berkurbanlah karena yang demikian itu adalah sunnah bapakmu, yaitu Ibrahim”.
c. Ajaran yang tidak ditetapkan oleh Syari’at islam.
a) Yang diberitakan kepada Islam baik melalui al-Qur'an atau as-Sunnah, tetapi tidak tegas diwajibkan kepada Islam sebagaimana diwajibkan kepada umat sebelum Islam.
Tidak ada penegasan dari syariat Islam apakah dinaskh atau dianggap sebagai syariat Islam. Pembagian ketiga inilah yang menjadi inti pokok pembahasan dalil syara’ ini(Syar’u Man Qablana) :
Misalnya Q.S.5:32 yang menyebutkan:
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.
Begitu juga pada Q.S. 5: 45 yang artinya sebagai berikut:
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak kisas)-nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
Pada kedua ayat di atas terlihat dengan jelas bahwa Tuhan menceritakan adanya kewajiban kepada Bani Israil hukum yang tercatat dalam Taurat. Namun tidak menjelaskan apakah ketentuan itu berlaku juga terhadap umat Islam atau tidak. Tidak adanya kejelasan pada ayat itu menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan para ahli usul al-fiqh, apakah hal tersebut diberlakukan juga untuk umat Islam atau tidak mengingat ketentuan itu terdapat di dalam Alqur’an yang nota bene merupakan Islamb suci umat Islam.
Berkaitan dengan masalah tersebut, Bazdawi (t.t.: 232) mengatakan bahwa syari’at terdahulu yang tidak ditemukan ketegasan pengamalannya bagi umat Islam adalah tidak berlaku bagi umat Islam sampai ditemukannya dalil yang mewajibkannya. Namun yang populer dari pendapat Bazdawi adalah tentang anggapannya yang menyatakan bahwa ketentuan itu merupakan syari’at karena ia dituliskan kembali dalam Alqur’an, sehingga ia telah menjadi syari’at Muhammad. Hal ini ditanggapi berbeda oleh Hazm (1404, V: 149) yang mengatakan bahwa bentuk syari’at seperti itu hanya merupakan nass atau teks semata yang tidak perlu diamalkan.
Sedangkan Syairazi (1985: 34) mengatakan bahwa perbedaan tersebut tampak semakin berkembang dengan adanya 3 kelompok yang berkiprah memberikan pendapat yakni: 1) bukan sebagai syari’at umat Islam, 2) sebagai syari’at Islam, kecuali adanya dalil yang membatalkannya, 3) semua syari’at terdahulu, baik syari’at Ibrahim, syari’at Musa (kecuali yang telah di-naskh oleh syari’at Isa), dan syari’at Isa sendiri adalah syari’at Islam.
Pendapat Mazhab-mazhab terhadap permasalahan yang ke tiga ini :
a. Juhmuru al-Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian kalangan Syafi’iyah mengatakan bahwa hukum-hukum syariat umat sebelum Islam bila soheh maka menjadi syariat bagi Islam, tapi tinjauannya tetap melalui Wahyu dari Rasul bukan Islamb-Islamb mereka.
b. Asya’irah Mu’tazilah, Si’ah dan yang Rajih dari kalangan Syafi’ie mengatakan bahwa syariat umat sebelumnya apabila tidak ditegaskan oleh syariat Islam, maka tidak termasuk syariat Islam. Pendapat mereka ini diambil juga oleh al-Ghazali, al-Amudi, al-Razi, Ibnu Hazm dan kebanyakan para ulama’.
Ada empat dalil yang dibuat tendensi mereka, para ulama’ yang menganggap bahwa syariat umat sebelum Islam adalah syariat Islam :
1. Syariat umat sebelum Islam adalah syariat Allah yang tidak ditegaskan kalausanya telah dinasakh, karena itu Islam dituntut mengikutinya serta mengamalkan berdasarkan firman Allah dalam surat al-An’am, ayat, 90, al-Nahl, ayat, 123 dan surat al-Syura, ayat, 13. Disebutkan juga bahwa Ibnu Abbas pernah melakukan Sujud Tilawah ketika membaca salah satu ayat al-Quran dalam surat shod(ص) ayat 24.
2. kewajiban menqadho’i shalat Fardhu berdasarkan hadis nabi”Barangsiapa yang tertidur atau lupa melakukan shalat maka Qadho’ilah kalau nanti sudah ingat” dan ayat”Kerjakanlah shalat untuk mengingatku” yang disebutkan oleh Nabi secara berurutan dengan hadis di atas. Ayat ini ditujukan pada Nabi Musa AS, karena itu seandainya Nabi tidak dituntut untuk mengikuti syariat nabi sebelumnya niscaya penyebutan ayat di atas tidak dapat memberikan faidah.
3. Ayat kelima dalam surat al-Ma’idah yang menyebutkan permasalahan Qishas. Ayat ini dibuat tendensi oleh para ulama’ akan kewajibannya Qishas dalam syariat Islam.
4. Nabi itu senang untuk mencocoki Ahli al-Qitab dalam permasalahan yang belum ditetapkan keberadaannya oleh Wahyu.
Ada empat dalil yang juga dipakai oleh mereka yang mengingkari syariat umat sebelum Islam sebagai syariat Islam, yaitu :
1. Ketika Nabi mengutus Muadz Bin Jabal ke Yaman beliau menanyainya tentang apa yang akan Muadz jadikan dalil ketika mau menghukumi suatu masalah. Sahabat Muadz menjawab “aku akan memakai al-Quran dan hadis dan bila aku dalam keduanya tidak mendapatkan jawaban permasalahan tersebut maka aku akan berijtihad.
2. Firman Allah yang menunjukkan bahwa Allah telah menciptakan syariat dalam masing-masing umat, baik umat Nabi Muhammad atau umat Nabi terdahulu.
3. Seandainya Nabi, umatnya wajib mengikuti syariat umat terdahulu, niscaya beliau wajib mempelajari syariat tersebut.
4. Syariat terdahulu adalah husus bagi umat tertentu, sementara syariat islam adalah syariat umum yang menasakh syariat-syraiat terdahulu.
b) Yang tidak disebut-sebut (diceritakan) oleh syari'at Islam.
D. KESIMPULAN
Syar'u man qablana sebagaimana yang dimaksud Alqur’an dan para ahli usul al-fiqh terdahulu digunakan untuk menunjukkan dan membedakan syari'at nabi-nabi sebelum Islam dengan syari'at yang diterima Nabi Muhammad. Ada syariat terdahulu yang di nasakh (diganti oleh syariat islam) dan ada pula syariat yang diakui bahkan dilestarikan dalam ajaran agama islam.
نفع الله بنا و بكم الأمة
Diintisarikan dari berbagai sumber
0 komentar:
Post a Comment