Monday, January 25, 2010

KONVERSI AGAMA MENURUT TINJAUAN ISLAM DAN UDHR (UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS)

1. Pendahuluan
Kebangkitan Islam di seluruh pelosok dunia Islam dalarn dua dekade belakangan ini menunjukkan semangat untuk melaksanakan undang-undang Islam secata total, terutama dalam penerapan undang-undang jinayah Islam. Di antara negara-negara Islam yang sudah memperkenalkan undang-undang jinayah Islam ialah Arab Saudi, Iran, Pakistan dan Sudan. Sehubungan dengan itu, perbincangan mengenai undang-undang jinayah Islam sangat menarik minat para cendikiawan seluruh dunia apapun latar belakang agamanya, termasuk dalam perbincangan seputar hubungan undang-undang jinayah Islam dengan persoalan hak-hak asasi manusia. Permasalahan selanjutnya mengarah pada pandangan islam mengenai status hukum konversi agama (yang menurut asumsi mayoritas (dunia) sekarang adalah menyangkut hak asasi manusia - hak berpendapat & beragama). Disisi lain, mayoritas ulama melarang keras penganut islam untuk meninggalkan agamanya dengan dikenakan hukuman yang berat yaitu dimati (bunuh). Persoalannya, apakah benar pemahaman yang mengatakan seseorang yang keluar Islam (murtad) dimati (bunuh) setelah enggan bertaubat? Atau hukuman ini hanya ketentuan Allah di mana seseorang yang keluar Islam akan disiksa di akhirat tanpa ada sanksi di dunia ini. Persoalan selanjutnya yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bagaimanakah konsep konversi agama itu sendiri menurut consensus UDHR PBB?

2. Islam Versus HAM
Sebenarnya ide HAM berakar pada pandangan Barat terhadap tabiat manusia, hubungan individu dengan masyarakat/negara, tentang fakta masyarakat, dan tugas Negara. Kapitalisme memandang tabiat manusia pada dasarnya adalah baik, tidak jahat. Kejahatan yang muncul dari manusia disebabkan oleh pengekangan terhadap kehendaknya. Oleh karena itu, kehendak manusia harus dibiarkan bebas lepas agar dia mampu menunjukkan tabiat baiknya yang asli. Dari sinilah muncul ide kebebasan (freedom) yang menjadi salah satu ide yang menonjol dalam ideologi Kapitalisme. Pandangan tersebut menjadi dasar bagi apa yang disebut “kebebasan individu” –yang harus dipelihara– sebagai landasan HAM, yang meliputi kebebasan beraqidah/ beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan hak milik, dan kebebasan bertingkah laku.
Tabiat manusia sesungguhnya bukanlah baik seperti yang dikatakan oleh barat. Begitu pula bukan jahat seperti pandangan gereja, yang berasal dari filsafat-filsafat kuno yang dibangun atas dasar pandangan bahwa manusia telah mewarisi dosa Adam.
Menurut islam, yang benar adalah bahwasanya manusia memiliki naluri dan kebutuhan jasmani yang menuntut pemuasan. Dengan akal yang dikaruniakan oleh Allah, manusia kemudian mempunyai kehendak untuk memuaskan naluri dan kebutuhan jasmaninya. Apabila manusia memenuhi naluri dan kebutuhan jasmaninya dengan cara yang diridlai Allah (dengan ketaatan), maka dikatakan dia berbuat baik. Apabila dia memenuhi kebutuh- an naluri dan jasmaninya dengan cara yang dimurkai Allah (maksiat) berarti dia berbuat buruk.
Jadi tabiat manusia itu berpotensi untuk baik atau buruk sekaligus, tergantung pilihannya terhadap peraturan untuk memenuhi kebutuhan naluri dan jasmaninya. Sebagai- mana firman Allah SWT :
“Dan demi jiwa (manusia) serta penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah-lah yang mengilhamkan (menyerukan) kepada jiwa itu memilih (jalan) kefasikan (kemaksiatan) dan ketakwaannya (ketaatan kepada Allah)”. (QS. Asy Syams: 7-8)
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya (yakni manusia) dua jalan (baik dan buruk).” (QS. Al Balad: 10).

3. Tinjauan Sejarah HAM dan Hak Kebebasan/Konversi Agama

Pengertian hak asasi manusia yang diusung oleh sebenarnya bukanlah suatu yang asing dalam kamus Islam. Walaupun hak-hak asasi manusia seperti yang telah diketahui saat ini berasal dari Barat yang dipopulerkan oleh PBB , intisari konsep tersebut terdapat dalam ajaran Islam semenjak zaman Rasulullah s.a.w.
Sahifah Madinah atau juga dikenal dengan Piagam Madinah adalah salah satu contoh yang sering dikemukakan oleh para sarjana Islam bahwa Islam tidak mengabaikan kehendak hak-hak asasi manusia.
Walau bagaimanapun, terdapat pendapat orientalist yang mengucilkan hak-hak asasi manusia dalam Islam. Di antara mereka, Joseph Schact sebagai berkata:
"Islamic law is a system of duties, ritual obligations all of which are sanctioned by the same religious command."
Juga Henry Siegmen:
"Here is no such abstraction as individual rights could have been existed in Islam ..... what he has only obligations."
Konsepsi hak asasi manusia seperti mana yang ditawarkan dalam acuan Barat baru dikenali di negara-negara Islam setelah Perang Dunia Kedua. Konsep HAM barat didasarkan pada Article 18 The Universal Declaration of Human Rights yang menyatakan, “Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance”.
Sedangkan aturan Islam dalam article 10 “Cairo Declaration on Human Rights in Islam” menyatakan:
“Islam is the religion of true unspoiled nature. It is prohibited to exercise any form of pressure on man or to exploit his poverty or ignorance in order to force him to change his religion to another religion or to atheism.

4. Kebebasan Agama Menurut Persepsi Islam 

Menurut Hammudah 'Abdati, di sisi kaca mata Islam, "setiap individu dilahirkan bersih (fitrah)dari perbudakan, dosa, dan kasta." Walaupun manusia dilahirkan dalam kebebasan , kebebasan yang diberikan tidaklah bersifat mutlak kerana kebebasan mutlak hanya milik Allah SWT.
Dalam Islam, setiap individu mempunyai hak kebebasan beragama, mengamalkan dan beribadat mengikut agama yang dianutinya. Justru itu, setiap manusia juga diberi kebebasan mutlak untuk memilih mana-mana agama untuk dianutinya. Ini dijelaskan dalam al-Qur' an: "Maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir. "
AI-Qur' an juga secara terang menekankan bahwa dalam keadaan mana pun seseorang itu tidak boleh dipaksa untuk menganuti agama atau kebercayaan yang berlawanan dengan kehendaknya. Ini sesuai dengan firman Allah: "Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (fs'lam).
Islam tentu mengakui kebebasan beragama, hanya saja kebebasan beragama dalam Islam bersifat ibtidaiy (permulaan), dan tidak intiha’iy (diakhir). Artinya, seseorang pada awalnya dibebaskan untuk memilih agama yang ia yakini. Islam juga tidak memaksa umat agama lain untuk memeluk Islam. Pada tingkatan inilah, Islam mengakui kebebasan beragama. Setelah seseorang memeluk Islam, maka berarti ia telah mengikatkan dirinya pada Islam. Ia tidak lagi memiliki kebebasan untuk keluar Islam, termasuk mengingkari doktrin-doktrin umum dalam Islam. Seperti Muhammad sebagai nabi terakhir, kewajiban sholat, keesaan Allah dan lain sebagainya.
Bahkan hukum pidana Islam menetapkan hukum mati (bunuh) bagi orang yang yang beralih agama (murtad).
Nabi SAW bersabda:
“Siapa saja yang mengganti agamanya (Islam), maka mati (bunuh)lah dia.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Ashhabus Sunan)..”
Namun demikian ulama pun masih berbeda pendapat dalam penerapannya.
Hukuman Mati: Tafsiran al-Qur'an dan Interpretasi Hadith
Tidak terdapat satu ayat pun dalam aI-Qur'an yang menyebut mengenai hukuman atas orang murtad. Sebagai catatan juga, bahwasanya tiga belas ayat al-Qur' an yang menyebut mengenai murtad, menegaskan hukuman ke atas orang murtad hanya dikenakan di hari akhirat. Mohamed S. EI-Awa memberi beberapa contoh ayat-ayat yang menyentuh perkara ini, di antaranya iaIah:
a) Surah aI-Nahl, (16) : ayat 106 yang menyebut: "Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir pada hal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa),akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekajiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab
yang besar." Menurut Mohamed S. EI-Awa, ayat ini diturunkan di akhir hayat Nabi di Mekah dan secara jelas menunjukkan bahwa orang yang murtad diancam dengan azab pedih di akhirat.
b) Surah al-Baqarah, (2): ayat 217 yang berbunyi: "Barang siapa yang munad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." Ayat ini puIa diturunkan ketika Nabi berhijrah ke Madinah. Sekali lagi ayat ini membuktikan bahwa orang murtad tidak dikenakan apa-apa hukuman di dunia.
c) Surah al-Baqarah, (2): ayat 86-91 juga menegaskan bahwa orang yang murtad hendaklah disiksa tetapi bukan di dunia ini.
Sebenamya, pandangan mereka yang mengatakan hukuman mati (bunuh) ke atas orang murtad merujuk kepada tiga Hadis:
a) Dalam satu riwayat dikatakan dua kelompok yang dikenali dengan 'Ukayl dan 'Urayna telah keluar dari Islam. Lalu dikatakan mereka telah dihukum dengan hukuman mati (bunuh) oleh Nabi Muhammad s. 'a.w. Walau bagaimanapun, pandangan ini telah ditolak oleh sebahagian fuqaha' yang berpendapat bahwa hukuman mati (bunuh) yang dikenakan ke atas mereka bukan kerana mereka keluar Islam (murtad) tetapi kerana mereka merompak (hirabah).
b) Hadith yang diriwayatkan oleh Bukharl, Muslim dan Abu Dawd yang mengatakan "Tidak halal (mengambil) darah (nyawa) seseorang melainkan dengan salah satu dari tiga sebab yaitu janda atau duda yang berzina, memmati (bunuh) dan meninggalkan jemaahnya." Berdasarkan Hadith ini, majoritas fuqaha' beranggapan bahwa orang yang murtad (meninggalkan jemaah) hendaklah dihukum mati (bunuh). Walau bagaimanapun, Ibn Tayrniyyah mendakwa bahwa jinayah yang dimaksudkan dalarn Hadith ini merujuk kepada pengkhianat (baghy). Pendekatan ini menurut beliau adalah untuk menyesuaikan dengan ayat 33-34 dari Surah al-Mii'idah.
c) Hadith yang diriwayatkan oleh Ibn' Abbas di mana dikatakan Nabi Mulammad s. 'a.w. pemah bersabda: "barang siapa yang menukar agamanya hendaklah dimati (bunuh)." Hadith ini merupakan satu-satunya Hadith yang menjadi pegangan kuat majoritas fuqaha' bahwa orang yang murtad wajib dihukum mati.
Tetapi Hadith ini boleh membawa kepada interpretasi yang lain dengan beberapa alasan:
Pertama: Hadith ini dianggap tidak kuat kerana diriwayatkan dalam bentuk khabar Ahad. Oleh yang demikian, mengikut syarat dalam ilmu Usul al-Fiqh, ia tidak kuat bagi mengharuskan hukuman mati (bunuh).
Kedua: Hadith ini didatangi dalam kenyataan umum ('am) yang memerlukan kepada pengkhususan (takhsis). Bahkan al-Shawkny berpendapat Hadith ini telah ditakhsis dengan ayat 106, Surah al-Nahl yang menyebut: "Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir pada hal hatinya tetap tenang dalam keimanan (dia lidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, baginya azab yang besar. "
Mazhab Hanafi juga mengkhususkan maksud umum Hadith ini dengan membawa pendekatan bahwa seseorang wanita yang murtad tidak dihukum mati (bunuh) malah dikenakan penjara saja. Ini disokong oleh al-Shawkani di mana hukuman mati (bunuh) hanyalah dikenakan ke atas orang murtad yang membawa permusuhan kepada masyarakat dan boleh membawa kepada berperang (hirabah).
Ketiga: Yang paling penting sekali ialah ketiadaan bukti kukuh yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw pemah memaksa seseorang untuk masuk Islam maupun pernah menjatuhkan hukuman mati ke atas orang yang murtad.
Meskipun mayoritas ulama fiqh menetapkan hukuman mati (bunuh) ke atas mereka yang murtad, hukuman itu tidak boleh dilaksanakan kecuali selepas orang murtad itu disuruh bertaubat. Walaupun begitu, para fuqaha' berselisih pendapat dalam konteks tau bat. Menurut Imam Malik, satu pandangan dari Imam Shafl'l dan satu pandangan dari Imam Ahmad Ibn I!anbal, orang murtad hendaklah diberi peluang untuk bertaubat dalam masa tiga hari. Ada juga yang melanjutkan tempoh tersebut sehingga dua bulan. Manakala menurut pandangan lain, peluang bertaubat tidak perlu tetapi digalakkan.

0 komentar:

Post a Comment

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes