Perkembangan Pemikiran Ekonomi
Penulis : Deliarnov
Penerbit : Rajawali Pers
Tahun : 2005
Tebal :260
Harga :Rp 42,000
Secara garis besar buku ini berisi tentang ulasan tentang pemikiran ekonomi Islam dan ada sedikit tentang ekonomi konvensional. Juga membahas tentang aturan-aturan pokok ekonomi yang berdasarkan pada sumber Islam (Al-Quran dan hadits) dan memberikan gambaran tentang karakteristik ekonomi Islam yang membedakannya dengan ekonomi konvensional.
Selain itu, diulas juga hukum dan prinsip ekonomi Islam menurut para ulama (Klasik dan Modern) seperti Imam Ja´far Ash-Shadiq, Abu Hanifah, Malik bin Anas, Imam Asy-Syafi´i, Ahmad bin Hanbal Abu Yusuf, Asy-Syaibani, Abu Ubayd, Al-Mawardi, Al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun, Al-Maqrizi, Zaid bin Zainal Abidin, Yahya bin Umar, Ibnu Miskawaih, Ibnu Hazm, Al-Juwaini, As-Sarakhsi, Dimashqi, Fakhruddin Ar-Razi, Ibnu Qudamah, Najmuddin Ar-Razi, Nasiruddin Ath-Thusi, Shah Waliullah Dihlawi, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Hasan Al-Banna, Ziaul Haque, Sayyid Abul A´la Mawdudi, Sayyid Qutb, Muhammad Baqir Ash-Shadr, Fazlur Rahman, Ismail Razi Al-Faruqi, Khursid Ahmad, Muhammad Anas Zarqa, Nejatullah Siddiqi, Yusuf Qaradhawi, dan Umer Chapra.
Sejarah Ekonomi Islam
Dalam buku ini, Deliarnov Anwar membagi sejarah pemikiran ekonomi Islam pada empat fase.
Fase pertama, pemikiran-pemikiran ekonomi Islam baru pada tahap meletakkan dasar-dasar ekonomi Islam, dimulai sejak awal Islam hingga pertengahan abad ke-5 H/ 7-11 Masehi. Pada tahap ini pemikiran-pemikiran ekonomi Islam pada umumnya bukanlah dibahas oleh para ahli ekonomi, melainkan dirintis fuqaha, sufi, teolog, dan filsuf Muslim. Pemikiran ekonomi Islam pada tahap ini banyak ditemukan dalam kitab-kitab turats (peninggalan ulama). Dari turats itulah para intelektual Muslim maupun non-Muslim melakukan kajian, penelitian, analisis, dan kodifikasi pemikiran-pemikiran ekonomi Islam yang pernah ada atau dikaji pada masa itu. Pemikiran-pemikiran ekonomi yang terdapat dalam kitab tafsir, fiqih, tasawuf dan lainnya, adalah produk ijtihad sekaligus interpretasi mereka terhadap sumber Islam saat dihadapkan pada berbagai kegiatan-kegiatan ekonomi dan persoalan-persoalan ekonomi yang dihadapi masa itu. “Karena sifatnya penafsiran, sangat lumrah jika terdapat variasi dan perbedaan antara ulama yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan bisa saja terjadi karena berbedanya lokasi, lingkungan dan waktu. Perbedaan penafsiran mungkin pula terjadi karena perbedaan latar belakang dan kapasitas pengetahuan ulama yang menafsirkan itu sendiri. Tidak hanya tentang riba, zakat, harta, warisan, uang, fungsi uang, mahar, transaksi, perjanjian, dan denda, tetapi juga tentang permintaan, penawaran, peran pasar, fungsi pemerintah, kebijakan publik, perpajakan, dan sebagainya,” tulis Deliarnov.
Menurut Deliarnov, para ulama fiqih (fuqaha) tidak hanya mendiskusikan, menggambarkan dan menjelaskan fenomena-fenomena ekonomi sesuai dengan Al-Quran dan tradisi kenabian, tetapi juga mengeksplorasi konsep-konsep mashlahah dan mafsadat, manfaat dan mudharat (utility and disutility) yang terkait dengan berbagai aktivitas ekonomi. Meskipun dalam menguraikannya cenderung bersifat normatif, tetapi ada ketegasan sikap dalam membahas dan menjelaskan tentang perilaku yang adil atau kebijakan yang harus diambil penguasa. Sedangkan para sufi lebih menitikberatkan pada etika agar para pelaku ekonomi tidak rakus atau memikirkan diri sendiri, dan cinta dunia. Menurut kaum sufi, tujuan akhir dari setiap aktivitas ekonomi bukanlah kebahagiaan dunia, melainkan kebahagiaan yang abadi di akhirat. Lain halnya dengan para filsuf, yang dalam pembahasannya fokus ke masalah sa’adah (kebahagiaan) dengan metodologi dan analisa ekonomi yang bersifat makro.
Fase kedua adalah “cemerlang”, berlangsung dari abad 11- 15. Pada masa ini para fuqaha, sufi, filsuf, dan teolog, mulai menyusun bagaimana seharusnya umat Islam melaksanakan berbagai aktivitas ekonomi. Tidak hanya merujuk pada Al-Quran dan tradisi kenabian, tapi juga mulai mengemukakan pendapat-pendapatnya sendiri.
Fase ketiga adalah stagnasi, ditandai dengan kemunduran Dunia Islam dalam khazanah intelektual, sejak 1446 hingga munculnya pemikir Muhammad Iqbal pada 1932. Pada masa ini para fuqaha hanya mencatat atau mengulang para pendahulunya dan mengikuti fatwa sesuai dengan mazhabnya. Stagnasi yang dialami pemikir-pemikir Muslim ini terjadi akibat ditutupnya pintu ijtihad, sehingga tidak ada yang mampu menghasilkan pemikiran-pemikiran yang mandiri. Pemahaman agama atau tafsir yang berasal dari mazhab dan firqah yang diadopsi negara/pemerintah yang berkuasa yang memegang peranan. Apabila muncul yang berbeda tafsir atau pemahaman, penjara dan cambuk adalah hadiah yang didapatnya, bahkan sampai dibunuh jika tidak mengikuti atau mematuhi yang sudah ditetapkan. Itulah sebabnya sebagian ulama dan cendekiawan Muslim yang memiliki pemikiran yang berbeda dengan “mainstream” selalu menyepi alias tidak menampakkan kecemerlangan dalam pengetahuan maupun pemahaman agama yang mencerahkan.
Fase keempat adalah modern, ditandai dengan kebangkitan Dunia Islam dari stagnasi pemikiran selama lima abad sejak pertenghaan abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-20. Pada masa modern ini muncul pakar-pakar ekonomi Islam profesional. Jika pembahasan ekonomi sebelumnya dilakukan para fuqaha, teolog, filsuf, dan sufi, maka pada masa modern ini dikembangkan kalangan sarjana ekonomi atau cendekiawan Muslim, yang tidak sedikit mendapat pendidikan Barat.
“Mereka belajar tentang ekonomi mikro, ekonomi makro, ekonomi pembangunan, ekonomi moneter, dan lainnya. Dengan latar pendidikan mereka yang pada umumnya para ekonom, mereka tidak hanya menyajikan pemikiran-pemikiran ekonomi dari segi konsep dan teori, tetapi banyak pula yang mengimplementasikan ilmu-ilmu ekonomi yang mereka kembangkan dalam kehidupan nyata. Mereka mengimplementasikan ekonomi Islam secara sistematis dan modern, baik di tingkat mikro maupun makro. Atas kontribusi mereka ekonomi Islam diterima sebagai suatu disiplin ilmu yang mandiri, dan begitu juga dalam tiga dekade terakhir kita saksikan banyak bank-bank Islam yang dilandaskan pada syari’ah bermunculan,” tulis Deliarnov.
Begitulah jejak perjalanan pemikiran ekonomi Islam dalam sejarah peradaban Islam. Sebuah kekayaan yang pantas kita banggakan dan hadirkan dengan kontekstualisasi dan pengembangan nalar sehingga relevan dengan zaman sekarang. Memang harus diakui bahwa pasca-tumbangnya Komunisme, Sosialisme, Liberalisme dan sistem ekonomi Kapitalisme yang menjadikan krisis global di negara-negara Barat dan yang berada di bawah naungannya, termasuk Indonesia, para ekonom Barat mencari “formula” yang kemampuan, kekuatan, dan kehebatannya melampaui sistem dan pemikiran yang sebelumnya. Mereka melihat pada Islam, khususnya pada khazanah pemikiran ekonomi yang dikemukakan para ulama dan cendekiawan Muslim. Tidak sedikit karya khazanah ekonomi Islam itu diadaptasi dan dikembangkan di negara-negara Barat sekarang ini. Bedanya dengan di negeri-negeri Islam adalah, ekonom Barat mengambil sistem dan konsepnya tanpa mengambil sisi spiritualitasnya. Mungkin, bisa diibaratkan bentuk tanpa isi. Namun, meski begitu geliatnya dalam mewujudkan sistem yang berdasarkan syari`ah sangat tampak dari beberapa perusahaan yang ada di Eropa, khususnya di Inggris sudah muncul perguruan tinggi yang mengajarkan Islamic finance dan di Jepang untuk kawasan Asia. Mengapa mesti ekonomi Islam yang menjadi solusi dalam membangun sistem perekonomian yang utuh dan paripurna?
0 komentar:
Post a Comment